BLACKHAT SEO, Diperuntukan untuk mengcounter propaganda kafir di dunia cyber
Tahukah Bahwa Islam Memiliki Bendera Sendiri ?
Apakah anda tahu bahwa Islam memiliki bendera yang khas? Ya,
Islam merupakan dien yang lengkap yang mengatur segala aspek hidup salah
satunya dalam masalah tata negara, termasuk pengaturan bendera. Bendera Islam
telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Bendera Rasulullah terdiri dari:
1. Al-liwa (bendera putih)
2. Ar-rayah (panji hitam)
Di dalam bahasa Arab, bendera dinamai dengan liwa (jamaknya
adalah alwiyah). Sedangkan panji-panji perang dinamakan dengan rayah. Disebut
juga dengan al-‘alam
(1). Rayah adalah panji-panji yang diserahkan kepada
pemimpin peperangan, dimana seluruh pasukan berperang di bawah naungannya.
Sedangkan liwa adalah bendera yang menunjukan posisi pemimpin pasukan, dan ia
akan dibawa mengikuti posisi pemimpin pasukan.
Liwa adalah al-‘alam (bendera) yang berukuran besar. Jadi,
liwa adalah bendera Negara. Sedangkan rayah berbeda dengan al-‘alam. Rayah
adalah bendera yang berukuran lebih kecil, yang diserahkan oleh khalifah atau
wakilnya kepada pemimpin perang, serta komandan-komandan pasukan Islam lainnya.
Rayah merupakan tanda yang menunjukan bahwa orang yang membawanya adalah
pemimpin perang (2).Liwa, (bendera negara) berwarna putih, sedangkan rayah
(panji-panji perang) berwarna hitam. Banyak riwayat (hadist) warna liwa dan
rayah, diantaranya :
"Rayahnya (panji peperangan) Rasul SAW berwarna hitam,
sedang benderanya (liwa-nya) berwarna putih". (HR. Thabrani, Hakim, dan
Ibnu Majah)
Meskipun terdapat juga hadist-hadist lain yang menggambarkan
warna-warna lain untuk liwa (bendera) dan rayah (panji-panji perang), akan
tetapi sebagian besar ahli hadits meriwayatkan warna liwa dengan warna putih,
dan rayah dengan warna hitam.
Tidak terdapat keterangan (teks nash) yang menjelaskan
ukuran bendera dan panji-panji Islam di masa Rasulullah SAW, tetapi terdapat
keterangan tentang bentuknya, yaitu persegi empat.
"Panji Rasulullah saw berwarna hitam, berbentuk segi
empat dan terbuat dari kain wol". (HR. Tirmidzi)
Al-Kittani
(3) mengetengahkan
sebuah hadist yang menyebutkan :
Rasulullah saw telah menyerahkan kepada Ali sebuah panji
berwarna putih, yang ukurannya sehasta kali sehasta.
Pada liwa (bendera) dan rayah (panji-panji perang) terdapat
tulisan Laa illaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah. Pada liwa yang berwarna
dasar putih, tulisan itu berwarna hitam. Sedangkan pada rayah yang berwarna
dasar hitam, tulisannya berwarna putih. Hal ini dijelaskan oleh Al-Kittani (4),
yang berkata bahwa hadist-hadist tersebut (yang menjelaskan tentang tulisan
pada liwa dan rayah) terdapat di dalam Musnad Imam Ahmad dan Tirmidzi, melalui
jalur Ibnu Abbas. Imam Thabrani meriwayatkannya melalui jalur Buraidah
al-Aslami, sedangkan Ibnu ‘Adi melalui jalur Abu Hurairah.
Begitu juga Hadist-hadist yang menunjukan adanya lafadz Laa
illaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah , pada bendera dan panji-panji perang,
terdapat pada kitab Fathul Bari (5).
Berdasarkan paparan tersebut diatas, bendera Islam (liwa) di
masa Rasulullah saw adalah berwarna putih, berbentuk segi empat dan di dalamnya
terdapat tulisan Laa illaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah dengan warna
hitam. Dan panji-panji perang (rayah) di masa Rasulullah saw berwarna dasar
hitam, berbentuk persegi empat, dengan tulisan di dalamnya Laa illaaha illa
Allah, Muhammad Rasulullah berwarna putih.
1. Al-Liwâ’ dan ar-Râyah secara bahasa keduanya berarti
al-‘alam[u] (bendera). Di dalam Al-Qâmûs al-Muhîth, pada pasal rawiya
dinyatakan: ….. ar-râyah adalah al-‘alam[u] (bendera), jamaknya râyât….; dan
pada pasal lawiya dinyatakan: ….. alliwâ’ adalah al-‘alam[u] (bendera), dan
jamaknya alwiyah. Kemudian dari sisi penggunaannya, syariah telah memberikan
makna syar‘i untuk masing-masing, sebagai berikut:
Al-Liwâ’ berwarna putih, tertulis di atasnya Lâ ilâha illâ
Allâh Muhammad Rasûlullâh dengan tulisan warna hitam. Ia diakadkan untuk amir
brigade pasukan atau komandan brigade pasukan. Al-Liwâ’ itu menjadi pertanda
posisi amir atau komandan pasukan dan turut beredar sesuai peredaran amir atau
komandan pasukan itu. Dalil penetapan al-Liwâ untuk amir pasukan adalah sebagai
berikut:
Sesungguhnya Rasulullah saw. masuk ke kota Makkah pada saat
pembebasan Makkah, sementara Liwâ’ Beliau berwarna putih. (HR Ibn Majah dari
Jabir) Anas juga menuturkan riwayat sebagaimana dituturkan an-Nasa’i:
"Sesungguhnya ketika Rasul saw. mengangkat Usamah bin
Zaid menjadi amir pasukan untuk menggempur Romawi, Beliau menyerahkan Liwa’
Beliau kepada Usamah dengan tangan Beliau sendiri."
Ar-Râyah berwarna hitam; tertulis di atasnya Lâ ilâha illâ
Allâh Muhammad Rasûlullâh dengan warna putih. Ar-Râyah berada bersama para
komandan bagian-bagian pasukan (sekuadron, detasemen, dan satuan-satuan pasukan
yang lain). Dalilnya adalah bahwa Rasulullah saw., ketika menjadi panglima
pasukan di Khaibar, Beliau bersabda : “Sungguh, besok aku akan menyerahkan
ar-râyah ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya serta
dicintai Allah dan Rasul-Nya.” Lalu Beliau menyerahkannya kepada Ali bin Abi
Thalib. (HR Muttafaq ‘alaih).
Ali ketika itu merupakan komandan batalyon atau sekuadron
pasukan. Demikian juga di dalam hadis Harits bin Hasan al-Bakri yang
mengatakan: Kami tiba di Madinah, sementara Rasululah saw. sedang berada di
atas mimbar, dan Bilal berdiri di hadapan Beliau sambil menggenggam pedang.
Saat itu terdapat râyah-râyah berwarna hitam. Lalu aku bertanya, “Râyah apa
ini?” Para Sahabat menjawab, “Amru bin al-‘Ash baru tiba dari peperangan.”
Makna frasa fa idza râyât sawd (saat itu terdapat râyahrâyah
berwarna hitam) adalah bahwa pada waktu itu terdapat banyak râyah bersama
pasukan, sementara amirnya adalah satu orang, yaitu Amru bin al-‘Ash. Ini
artinya râyah itu berada bersama para komandan sekuadron atau satuan-satuan…
Karena itu, al-Liwâ’ diserahkan kepada amir pasukan, sedangkan ar-Râyah ada
bersama batalyon, sekuadron, dan satuan-satuan pasukan. Demikianlah, al-liwâ’
hanya satu untuk satu brigade pasukan dan ar-râyah dalam satu brigade pasukan
jumlahnya banyak. Dengan begitu, al-Liwâ’ adalah bendera yang dibawa amir
brigade, bukan orang lain, sementara ar-Râyah menjadi panji-panji tentara.
2. Al-Liwâ’ diakadkan kepada amir brigade dan menjadi
pertanda keberadaannya, yakni selalu menyertai amir brigade. Adapun di medan
peperangan, komandan peperangan, baik ia amir brigade atau komandan-komandan
lainnya yang ditunjuk oleh amir brigade, diserahi ar-râyah. Ar-Râyah itu ia
bawa selama berperang di medan peperangan. Karena itu, ar-Râyah disebut Umm
al-Harb (Induk Perang), karena dibawa bersama komandan tempur di medan
peperangan Karena itu, dalam kondisi sedang terjadi peperangan, tiap-tiap râyah
berada bersama komandan tempur. Praktik demikian merupakan praktik yang dikenal
luas pada masa itu. Keberadaan ar-Râyah yang tetap berkibar menjadi pertanda
kekuatan tempur komandan pertempuran. Ini merupakan pengaturan yang bersifat
administratif sesuai dengan tradisi berperang pasukan. Rasulullah saw.
mengucapkan bela sungkawa atas gugurnya Zaid, Ja‘far, dan Abdullah bin Rawahah
sebelum brigade Perang Mu‘tah datang:
Ar-Râyah dipegang oleh Zaid, lalu ia gugur; kemudian diambil
oleh Ja‘far, lalu ia pun gugur; kemudian diambil oleh Ibn Rawahah, dan ia pun
gugur.
Demikian pula, pada kondisi sedang terjadi peperangan, jika
Khalifah memimpin langsung pertempuran maka al-Liwâ’ boleh dikibarkan di medan
pertempuran, bukan hanya ar-Râyah. Telah dinyatakan di dalam Sîrah Ibn Hisyâm
dalam pembicaraan mengenai Perang Badar al-Kubra, bahwa al-Liwâ’ dan ar-Râyah,
berada di medan pertempuran. Adapun dalam kondisi damai atau setelah
berakhirnya pertempuran, maka ar-Râyah tersebar di tengah brigade pasukan;
dikibarkan oleh batalyon, sekuadron, detasemen, dan satuan-satuan pasukan…..Hal
itu sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadis penuturan Harits bin Hasan al-Bakri
mengenai brigade pasukan Amru bin al-‘Ash.
3. Dalam Islam, Khalifah adalah panglima militer. Karena
itu, al-Liwâ’ dikibarkan di tempat ia berada, yaitu Dâr al-Khilâfah. Praktik
demikian adalah sesuai dengan syariah, karena al-Liwâ’ diakadkan untuk amir
pasukan. Boleh pula dikibarkan ar-râyah di Dâr al-Khilâfah secara adminitratif
dengan dasar bahwa Khalifah merupakan kepala organisasi negara. Adapun terkait
dengan instansi-instansi, institusiinstitusi, dan jawatan-jawatan maka disana
dikibarkan arRrâyah saja, tanpa al-Liwâ’. Sebab, al-Liwâ’ itu khusus untuk
panglima pasukan sebagai tanda keberadaan (posisi)-nya.
4. Al-Liwâ diikatkan di ujung tombak dan dililitkan.
Al-Liwâ’ diberikan untuk komandan-komandan resimen/brigade sesuai dengan jumlah
resimen/brigade yang ada. Masing-masing al-Liwâ’ itu diakadkan untuk komandan
resimen/brigade pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya…..; atau diakadkan untuk
komandan resimen/brigade Syam, Irak, Palestina, da seterusnya…. sesuai dengan
penamaan pasukan. Ketentuan asal, hendaknya al-Liwâ’ dililitkan di ujung tombak
dan tidak dikibarkan kecuali untuk suatu keperluan. Misalnya, di atas Dâr
al-Khilafah, al-Liwâ’ dikibarkan karena pentingnya Dâr al-Khilafah. Demikian
pula, al-Liwâ’ dikibarkan di atas kemah/markas komandan brigade pada kondisi
damai, agar umat menyaksikan keagungan al-Liwâ’ pasukan mereka.
Akan tetapi, keperluan itu, jika bertentangan dengan aspek
keamanan seperti ketika dikhawatirkan musuh akan mengetahui kemah/markas
komandan tentara, maka al-Liwâ’ dikembalikan pada ketentuan asal, yaitu
dililitkan di ujung tombak dan tidak dikibarkan. Sementara itu, ar-Râyah
dibiarkan tetap berkibar ditiup angin sebagaimana bendera-bendera pada saat
ini. Ar-Râyah itu diletakkan di jawatan-jawatan (instansi-instansi) negara.
Ringkasnya adalah sebagai berikut:
Pertama, berkaitan dengan pasukan.
1. Pada kondisi sedang terjadi peperangan, al-Liwa’ selalu
menyertai kemah amir brigade pasukan. Ketentuan asalnya tidak dikibarkan,
tetapi tetap dililitkan di ujung tombak. Mungkin saja dikibarkan setelah
dilakukan kajian atas aspek keamanan. Di dalam brigade pasukan itu terdapat
ar-râyah yang dibawa oleh komandan pertempuran di medan tempur. Jika Khalifah
berada di medan tempur maka al-liwâ’ boleh juga dibawa.
2. Pada kondisi damai, al-Liwâ’ diakadkan untuk komandan
resimen/brigade dan dililitkan di ujung tombak. Mungkin saja dikibarkan di atas
markas komandan-komandan resimen/brigade. Ar-Râyah tersebar di dalam pasukan
bersama batalyon, sekuadron, detasemen, dan satuan-satuan pasukan lainnya.
Mungkin saja untuk tiap-tiap batalyon atau sekuadron memiliki râyah (panji)
spesifik yang menjadi cirinya (secara administrasi) dan dinaikkan bersama
ar-Râyah. Kedua, Untuk tiap-tiap jawatan, instansi, dan instansiinstansi
keamanan negara dinaikkan râyah saja; kecuali Dâr al- Khilâfah, juga dinaikkan
al-Liwâ’ karena Khalifah adalah panglima militer. Boleh juga dinaikan ar-Râyah
bersama al-Liwâ’ (secara administrasi) karena Dâr al-Khilâfah merupakan kepala
organisasi negara. Organisasi-organisasi dan orang umum boleh membawa ar-Râyah
dan menaikannya di atas organisasi dan rumah mereka, khususnya pada hari-hari
raya atau ketika (negara/pasukan) mendapat kemenangan.
Bendera dengan pasukan umat Islam inilah yang akan
membebaskan negeri negeri Islam dari penjajahan AS di Iraq, Afgahanistan, dll
serta penjajahan Zionis Yahudi di Palestina. Akan mempersatukan Ummat dalam
Negara Khilafah dan membebaskan mesjidil Aqsha, dan akan menjadi bendera Negara
Khilafah yang di Janjikan oleh Rasulullah, Insya Allah..