August 2013
BLACKHAT SEO, Diperuntukan untuk mengcounter propaganda kafir di dunia cyber
“Jika kamu masih mempunyai banyak pertanyaan, maka kamu belum dikatakan beriman, Iman adalah percaya apa adanya, tanpa reserve”.
Begitulah kira-kira suatu pernyataan yang akan selalu saya ingat didalam hidup saya. Waktu itu saya masih seorang penganut Kristen Katolik berusia 12 tahun yang banyak sekali pertanyaan didalam hidup saya. Diantara pertanyaan-pertanyaan itu, tiga pertanyaan yang paling besar adalah: Darimana asal kehidupan ini, Untuk apa adanya kehidupan ini, dan akan seperti apa akhir daripada kehidupan ini. Dari tiga pertanyaan tersebut muncullah pertanyaan-pertanyaan turunan, “Kenapa tuhan pencipta kehidupan ini ada 3, tuhan bapa, putra dan roh kudus? Darimana asal tuhan bapa?”, atau “Mengapa tuhan bisa disalib dan dibunuh lalu mati, lalu bangkit lagi?”. Jawaban-jawaban itu selalu akan mendapatkan jawaban yang mengambang dan tak memuaskan.
Ketidakpuasan lalu mendorong saya untuk mencari jawaban di dalam alkitab, kitab yang datang dari tuhan, yang saya pikir waktu itu bisa memberikan jawaban. Sejak saat itu, mulailah saya mempelajari isi alkitab yang belasan tahun tidak pernah saya buka secara sadar dan sengaja. Betapa terkejutnya saya, setelah sedikit berusaha memahami dan mendalami alkitab, saya baru saja mengetahui pada saat itu jika 14 dari 27 surat dari injil perjanjian baru ternyata ditulis oleh manusia, saya hampir tidak percaya bahwa lebih dari setengah isi kitab yang katanya kitab tuhan ditulis oleh manusia, yaitu Santo Paulus. Lebih terkejut lagi ketika saya mengetahui bahwa sisa kitab yang lainnya juga merupakan tulisan tangan manusia setelah wafatnya Yesus. Sederhananya, Yesus pun tidak mengetahui apa isi injilnya. Lebih dari itu semua, konsep trinitas yang menyatakan tuhan itu tiga dalam satu dan satu dalam tiga (Bapa, Anak, dan Roh Kudus) yang merupakan inti dari ajaran kristen pun ternyata adalah hasil konggres di kota Nicea pada tahun 325 M. Ketika proses mencari jawaban di dalam alkitab pun, saya menemukan sangat sedikit sekali keterangan yang diberikan di dalam alkitab tentang kehidupan setelah mati hari kiamat dan asal usul manusia.
Setelah proses pencarian jawaban di dalam alkitab itu, saya memutuskan bahwa agama yang saya anut tidaklah pantas untuk dipertahankan atau diseriusi, karena tidak memberikan saya jawaban atas pertanyaan mendasar saya, juga tidak memberikan kepada saya pedoman dan solusi dalam menjalani hidup ini. Sejak saat itu, saya memutuskan untuk menjadi seseorang yang tidak beragama, tetapi tetap percaya kepada Tuhan. Saya mengambil kesimpulan bahwa semua agama tidak ada yang benar, karena sudah diselewengkan oleh penganutnya seiring dengan waktu. Saya menganggap semua agama sama, tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Saya juga berpandangan bahwa Tuhan laksana matahari, dimana para nabi dengan agamanya masing-masing adalah bulan yang memantulkan cahaya matahari, dan pemantulan itu tidak ada yang sempurna, sehingga agama pun tidak ada yang sempurna Tanpa sadar waktu itu saya masuk kedalam ideologi sekular. Menjadilah saya manusia yang sinkretis dan pluralis pada waktu itu.
Tetapi semua pandangan itu berubah 5 tahun kemudian ketika saya memasuki semester ketiga saya ketika berkuliah di salah satu PTN. Saya menemukan bahwa teori saya bahwa semua agama itu sama hancur samasekali dengan adanya realitas baru yang saya dapatkan. Lewat pertemuan saya dengan seorang ustadz muda aktivis gerakan da’wah islam internasional, perkenalan saya dengan al-Qur’an dimulai. Diskusi itu bermula dari perdebatan saya dengan seorang teman saya tentang kebenaran. Dia berpendapat bahwa kebenaran ada di dalam al-Qur’an, sedangkan saya belum mendapatkan kebenaran. Sehingga dipertemukanlah saya dengan ustadz muda ini untuk berdiskusi lebih lanjut.
Setelah bertemu dan berkenalan dengan ustadz muda ini, saya lalu bercerota tentang pengalaman hidup saya termasuk ketiga pertanyaan hidup saya yang paling besar. Kami lalu berdiskusi dan mencapai suatu kesepakatan tentang adanya Tuhan pencipta alam semesta. Adanya Tuhan, atau Sang Pencipta memanglah sesuatu yang tidak bisa disangkal dan dinafikkan bila kita benar-benar memperhatikan sekeliling kita. Tapi saya lalu bertanya pada ustadz muda itu “Saya yakin Tuhan itu ada, dan saya berasal dari-Nya, tapi masalahnya ada 5 agama yang mengklaim mereka punya petunjuk bagi manusia untuk menjalani hidupnya. Yang manakah lalu yang bisa kita percaya?!”. Ustadz muda itu berkata “Apapun diciptakan pasti mempunyai petunjuk tentang caranya bekerja” lalu dia menambahkan “Begitupun juga manusia, masalahnya, yang manakah kitab petunjuk yang paling benar dan bisa membuktikan diri kalau ia datang dari Sang Pencipta atau Tuhan yang Maha Kuasa” lalu diapun membacakan suatu ayat dalam al-Qur’an:
Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (TQS al-Baqarah [2]:2)
Ketika saya membaca ayat ini saya terpesona dengan ketegasan dan kejelasan serta ketinggian makna  daripada kitab itu. Mengapa penulis kitab itu berani menuliskan seperti itu?. Seolah membaca pikiran saya, ustadz itu melanjutkan “kata-kata ini adalah hal yang sangat wajar bila penulisnya bukanlah manusia, ciptaan yang terbatas, Melainkan Pencipta. Not creation but The Creator. Bahkan al-Qur’an menantang manusia untuk mendatangkan yang semacamnya!”
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar (TQS al-Baqarah [2]: 23)
Waktu itu saya membeku, pikiran saya bergejolak, seolah seperti jerami kering yang terbakar api. Dalam hati saya berkata “Mungkin inilah kebenaran yang selama ini saya cari!”. Tetapi waktu itu ada beberapa keraguan yang menyelimuti diri saya, belum mau mengakui bahwa memang al-Qur’an adalah suatu kitab yang sangat istimewa, yang tiada seorangpun yang bisa mendatangkan yang semacamnya. Lalu saya bertanya lagi “Lalu mengapa agama yang sedemikian hebat malah terpuruk, menjadi pesakitan, hina dan menghinakan dirinya sendiri?”. Dengan tersenyum dan penuh ketenangan ustadz muda itu menjawab “Islam tidak sama dengan Muslim. Islam sempurna, mulia dan tinggi, tidak ada satupun yang tidak bisa dijelaskan dan dijawab dalam Islam. Muslim akan mulia, tinggi juga hebat. Dengan satu syarat, mereka mengambil Islam secara kaffah (sempurna) dalam kehidupan mereka”
“Jadi maksud ustadz, muslim yang sekarang tidak atau belum menerapkan Islam secara sempurna?!” sata menyimpulkan.
“Ya, itulah kenyataan yang bisa Anda lihat” tegas ustadz muda itu.
Lalu saya dijelaskan panjang lebar tentang maksud bahwa Islam berbeda dengan Muslim. Penjelasan itu sangat luar biasa, sehingga memperlihatkan bagaimana sistem Islam kaffah bekerja. Sesuatu yang belum pernah saya dengar tentang Islam sampai saat itu, sesuatu yang tersembunyi (atau sengaja disembunyikan) dari Islam selama ini. Saat itu saya sadar betul kelebihan dan kebenaran Islam. Hanya saja selama ini saya membenci Islam karena saya hanya melihat muslimnya bukan Islam. Hanya melihat sebagian dari Islam bukan keseluruhan.
Akhirnya ketiga pertanyaan besar saya selama ini terjawab dengan sempurna. Bahwa saya berasal dari Sang Pencipta dan itu adalah Allah SWT. Saya hidup untuk beribadah (secara luas) kepada-Nya karena itulah perintah-Nya yang tertulis didalam al-Qur’an. Dan al-Qur’an dijamin datang dari-Nya karena tak ada seorangpun manusia yang mampu mendatangkan yang semacamnya. Setelah hidup ini berakhir, kepada Allah saya akan kembali dan membawa perbuatan ibadah saya selama hidup dan dipertanggungjawabkan kepada-Nya sesuai dengan aturan yang diturunkan oleh Allah. Setelah yakin dan memastikan untuk jujur pada hasil pemikiran saya. Saya memutuskan:
“Baik, kalau begitu saya akan masuk Islam!”
Saya tahu, saya akan menemui banyak sekali tantangan ketika saya memutuskan hal ini. Saya memiliki lingkungan yang tendensius kepada Islam dan saya yakin keputusan ini tidak akan membuat mereka senang. Tapi bagaimana lagi, apakah saya harus mempertahankan perasaan dan kebohongan dengan mengorbankan kebenaran yang saya cari selama ini?!. “Tidak, sama sekali tidak” saya memastikan pada diri saya sendiri lagi. Artinya walaupun tantangan di depan mata, saya yakin bahwa Allah, yang memberikan saya semuanya inilah yang pantas dan harus didahulukan.
Setelah menemukan Islam, saya menemukan ketenangan sekaligus perjuangan. Ketenangan pada hati dan pikiran karena kebenaran Islam. Dan perjuangan karena banyak muslim yang masih terpisah dengan Islam dan tidak mengetahui hakikat Islam seperti yang saya ketahui, kenikmatan Islam yang saya nikmati dan bangga kepada Islam seperti saya bangga kepada Islam. Dan mudah-mudahan, sampai akhir hidup saya dan keluarga saya, kami akan terus di barisan pembela Islam yang terpercaya. Janji Allah sangat jelas, dan akan terbukti dalam waktu dekat. Allahuakbar!
Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik (TQS an-Nuur [24]: 55)
Terimakasih Allah SWT, telah memberiku al-Qur’an dan taufik. Terimakasih wahai rasulullah Muhammad saw. atas kasih sayang dan perjuangannya. Terimakasih untuk Mami yang telah melahirkan dan mengasuh serta membesarkanku. Papi atas pelajaran nalar dan kritisnya sehingga aku bisa menemukan Islam. al-Ustadz Fatih Karim atas kesabaran dan persaudaraanya. al-Ustadz Ahmad Muhdi atas kritik dan perhatiannya. Ummi Iin atas percaya dan penurutnya. Teman-teman HDHT, terimakasih atas bimbingannya
Felix Siauw
BLACKHAT SEO, Diperuntukan untuk mengcounter propaganda kafir di dunia cyber
Jamilah Kolocotronis, melalui jalan berliku untuk sampai menjadi seorang Muslim. Uniknya, ia mendapatkan hidayah dari Allah swt mengikrarkan dua kalimat syahadat, justeru saat ia menempuh pendidikan demi mewujudukan cita-citanya menjadi seorang pendeta agama Kristen Lutheran yang dianutnya.

Kisah Jamilah berawal pada tahun 1976. Meski kuliah di sebuah universitas negeri, ia masih memendam keinginan untuk menjadi pendeta. Jamilah lalu mendatangi seorang pastor di sebuah gereja Lutheran dan menyampaikan keinginannya untuk membantu apa saja di gereja. Pastor itu kemudian meminta Jamilah untuk mewakilinya di acara piknik untuk para mahasiswa baru dari negara lain. Dalam acara ini, untuk pertamakalinya Jamilah bertemu dengan seorang Muslim.

Muslim itu bernama Abdul Mun’im dari Thailand. “Ia punya senyum yang manis dan sangat sopan. Saat kami berbincang-bincang, ia seringkali menyebut kata Allah,” kata Jamilah.

Jamilah mengaku agak aneh mendengar Mun’im menyebut nama Tuhan, karena sejak kecil ia diajarkan bahwa orang di luar penganut Kristen akan masuk neraka. Saat itu, Jamilah merasa bahwa Mun’im adalah golongan orang yang akan masuk neraka, meski Mun’im percaya pada Tuhan dan berperilaku baik. Jamilah bertekad untuk bisa mengkristenkan Mun’im.

Jamilah pun mengundang Mun’im datang ke gereja. Tapi betapa malu hatinya Jamilah ketika melihat Mun’im datang ke gereja dengan membawa al-Quran. Usai kebaktian, Jamilah dan Mun’im berbincang tentang Islam dan al-Quran. Selama ini, Jamilah hanya mendengar istilah “Muslim” dan memahaminya dengan hal-hal yang negatif. Kala itu, sejak era tahun 1960-an warga kulit putih di AS meyakini bahwa warga Muslim kulit hitam ingin menyingkirkan warga kulit putih.

Selama dua tahun, Jamilah tetap melakukan kontak dengan Mun’im. Lewat aktivitasnya di sebuah Klub International, Jamilah juga bertemu dengan beberapa Muslim lainnya. Jamilah tetap berusaha melakukan kegiatan misionarisnya untuk memurtadkan mereka dan masih punya keinginan kuat untuk menjadi pendeta meski waktu itu, di era tahun ’70-an gereja-gereja belum bisa menerima perempuan di sekolah seminari.

Waktu terus berjalan, kebijakan pun berubah. Setelah menyelesaikan studinya di universitas, sebuah seminari Lutheran mau menerimanya sebagai siswa. Jamilah pun langsung mengemasi barang-barangnya dan pergi ke Chicago untuk memulai pelatihan menjadi pendeta.

Tapi, cuma satu semester Jamilah merasakan semangat belajarnya di seminari itu. Jamilah sangat kecewa dengan kenyataan bahwa seminari itu tidak lebih sebagai tempat untuk bersosialisasi dimana pesta-pesta digelar dan minum-minuman keras sudah menjadi hal yang biasa. Jamilah makin kecewa ketika seorang profesor mengatakan bahwa para cendikiawan Kristen mengakui bahwa Alkitan bukan kitab suci yang sempurna, tapi sebagai pendeta mereka tidak boleh mengungkapkan hal itu pada para jamaah gereja. Ketika Jamilah bertanya mengapa, jawabannya tidak memuaskan dan ia diminta menerima saja keyakinan itu.

Jamilah akhirnya memutuskan meninggalkan seminari dan pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk lebih meluangkan waktu untuk mencari kebenaran. Di tengah pencariannya itu, Jamilah diterima kerja sebagai sekretaris di daerah pinggiran St. Louis tak jauh dari rumahnya.

Mencari Kesalahan al-Quran

Suatu hari Jamilah masuk ke sebuah toko buku dan menemukan al-Quran di toko buku itu. Jamilah tertarik untuk membelinya karena ia ingin mencari kelemahan dalam al-Quran. Jamilah berpikir, sebagai orang yang bergelar sarjana di bidang filosofi dan agama serta pernah mengenyam pendidikan di seminari, pastilah mudah baginya menemukan kelemahan-kelemahan al-Quran sehingga ia bisa mempengaruhi teman-teman Muslimnya bahwa mereka salah.

“Saya baca al-Quran dan mencari kesalahan serta ketidakkonsistenan dalam al-Quran. Tapi saya sama sekali tak menemukannya. Saya malah terkesan saat membaca Surat Al-An’am ayat 73. Untuk pertama kalinya saya ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam,” ujar Jamilah.

Jamilah memutuskan untuk kembali ke universitasnya dulu dan mengambil gelar master di bidang filosofi dan agama. Pada saat yang sama, selain mengunjungi kebaktian di gereja, Jamilah juga datang ke masjid pada saat salat Jumat. Saat itu, Jamilah mengaku belum siap menjadi seorang Muslim. Masih banyak ganjalan pertanyaan memenuhi kepalanya.

Namun Jamilah tetap melanjutkan pencariannya tentang agama. Ia banyak mendapat penjelasan dari teman-temannya di universitas yang Muslim tentang berbagai keyakinan dalam Kristen yang selama ini ketahui. Selain mempelajari Islam, Jamilah juga mempelajari agama Budha. “Saya cuma ingin menemukan kebenaran,” kata Jamilah.

Mengucap Dua Kalimat Syahadat

Seiring berjalannya waktu, Jamilah merasakan kecenderungannya pada Islam pada musim panas 1980. Satu hal yang masih mengganggu pikirannya ketika itu adalah mengapa orang Islam harus berwudhu sebelum salat. Ia menganggap itu tidak logis karena manusia seharusnya bisa mengakses dirinya pada Tuhan kapan saja. Namun pertanyaan yang mengganggu itu akhirnya terjawab dan Jamilah bisa menerima jawabannya.

Akhirnya, malam itu Jamilah membulatkan tekadnya untuk menerima Islam sebagai agamanya. Ia pergi ke sebuah masjid kecil dekat universitas. Kala itu, malam ke-9 di bulan Ramadhan, Jamilah mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan oleh sejumlah pengunjung masjid.

“Butuh beberapa hari untuk beradaptasi, tapi saya merasakan kedamaian. Saya sudah melakukan pencarian begitu lama dan sekarang saya merasa menemukan tempat yang damai,” tukas Jamilah.


Setelah menjadi seorang Muslim, awalnya Jamilah menyembunyikan keislamannya dari teman-teman di kampus bahkan keluarganya. Menceritakan pada keluarganya bahwa ia sudah menjadi seorang Muslim bukan persoalan gampang buat Jamilah. Begitupula ketika ia ingin mengenakan jilbab. Tapi jalan berliku dan berat itu berhasil dilaluinya. Kini, Jamilah sudah berjilbab, ia tidak jadi pendeta tapi sekarang ia menjadi kepala sekolah di Salam School, Milwaukee. Di tengah kesibukannya mengurus enam puteranya, Jamilah mengajar paruh waktu dan menulis novel bertema Muslim Amerika. (eramuslim)
BLACKHAT SEO, Diperuntukan untuk mengcounter propaganda kafir di dunia cyber
Muhammad Syafii Antonio atau yang biasa dikenal dengan Syafii Antonio, merupakan satu diantara tokoh-tokoh muslim Indonesia masa kini yang memberikan kontribusi dakwah di bidang ekonomi Syariah selain Adi Warman Karim, KH. Didin Hafiduddin dan beberapa ekonom syariah lainnya. Namun, tak banyak yang tahu jika Syafii Antonio merupakan seorang mualaf, yang sempat berpetualang, mencari kebenaran agama sejak usianya masih remaja.

Lahir di Sukabumi, Jawa Barat 12 Mei 1965, Syafii Antonio adalah warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang. Sebelum memeluk Islam, nama Syafii Antonio adalah Nio Gwan Chung. Sejak kecil ia akrab dengan ajaran Konghucu, karena ayahnya sendiri Nio Sem Nyau, tak lain seorang Shinse dan Biksu Budha Tridharma, di Sukabumi.
 

Mayoritas tetangga sekitar yang beragama Islam ditambah dengan lingkungan sekolahannya, secara tidak langsung memaksa Nio Gwan Chung sejak kecil bersentuhan dengan komunitas pemeluk agama terbesar di republik ini. Bahkan kerap Nio Gwan Chung terlihat di depan masjid sambil memperhatikan keunikan-keunikan tatacara peribadatan orang Islam yang tidak ditemui di dalam ajaran Konghucu yang dianut. Saking asyiknya, ia sempat diam-diam menirukan gerakan-gerakan umat Islam saat melakukan salat. 


Namun, kebencian ayahnya terhadap umat Islam mengakibatkan Nio Gwan Chung mengurungkan niatnya untuk terus memperdalam ajaran Islam. Rasa benci ini didasari pada imej buruk yang selama ini membelenggu mayoritas umat Islam Indonesia. Kemiskinan, kebodohan, kriminilitas, dan beragam hal negatif lainnya, memperparah citra Islam dimata ayahnya.
 
 
Melihat sikap sang ayah terhadap umat Islam yang cenderung negatif Nio Gwan Chung yang saat itu mulai beranjak remaja, mencari pengalaman religi di luar Islam dan Konghucu. Kristen Protestan kemudian menjadi pilihannya. 

Selain memelajari dan menganut agama baru ini, Nio Gwan Chung berganti nama menjadi Pilot Sagaran Antonio. ternyata perpindahan agama barunya ini tidak memunculkan reaksi keras dari ayahnya. Karena keluarganya sendiri memberikan keleluasaan dalam memeluk agama, dengan catatan tidak untuk agama Islam. Sang Ayah akan sangat murka jika seandainya anaknya kelak ada yang memeluk Islam. 


Ajaran Kristen Protestan yang baru dianut oleh Pilot Sagaran Antonio ini rupanya tidak memuaskan rasa haus akan kebenaran yang tengah ia cari. Secara diam-diam Pilot Sagaran Antonio kembali mendalami ajaran Islam yang dulu sempat dilupakannya melalui literatur buku-buku Islam. Citra buruk umat Islam di mata sang ayah, tak mempengaruhi semangat dia untuk masuk lebih jauh mengenal Islam. 


Dalam mempelajari ajaran Islam, ia menggunakan metode komparasi yang membandingkan antara ajaran satu agama dengan agama lainnya. Komparasi ajaran agama ini ditempuh melalui pendekatan sejarah, pendekatan alamiah, dan pendekatan nalar rasio biasa. “Sengaja saya tidak menggunakan pendekatan kitab-kitab suci agar dapat secara obyektif mengetahui hasilnya,” ungkap Doktor Banking & Micro Finance, University of Melbourne tahun 2004 ini.
 

Setahap demi setahap Pilot Sagaran Antonio yang duduk dibangku SMA saat itu mulai menemukan titik terang. Melalui tiga pendekatan tadi, ia menyimpulkan agama Islam memiliki doktrin yang mudah dipahami dibandingkan dengan agama-agama lain. Master of Economic, International Islamic University, Malaysia tahun 1992 ini mengatakan, “Dalam Islam saya temukan bahwa semua rasul yang diutus Tuhan ke muka bumi mengajarkan risalah yang satu, yaitu Tauhid.”
 

Al-Quran, kitab suci umat Islam tidak luput dari perhatian Pilot Sagaran Antonio untuk dikaji lebih jauh. Isinya yang memesona bukan saja membuat dia tergagum-kagum, lebih dari itu ia tercebur dalam keagungan mukjizat alquran. Aspek bahasa, tatanan kata, isi berita, keindahan sastra, data-data ilmiah dan aspek lainnya yang disampaikan alquran, diakuinya, sangat sempurna.
 

Ajaran Islam baginya, memiliki sistem nilai yang sangat komprehensif. Ibadah dalam Islam diartikan secara universal. Semua yang dilakukan baik ritual, hubungan rumah tangga, ekonomi, sosial, maupun budaya, selama tidak menyimpang dan untuk meninggikan syiar Allah, nilainya adalah ibadah. 


Sistem kepercayaan yang dibangun Islam tampak sangat berbeda dengan agama lain. Yang lebih menarik lagi hatinya, bahwa di dalam Islam tidak perlu ada perantara dalam beribadah, yang ada hanyalah antara hamba dan Tuhannya.
 

Hasil dari studi banding inilah yang kemudian memantapkan hati Pilot Sagaran Antonio untuk segera memutuskan bahwa Islam adalah agama yang dapat menjawab persoalan hidup.
 

Memeluk Islam
 

Melalui perenungan yang cukup panjang, akhirnya, tahun 1984 bertepatan dengan usianya yang ke-17 Pilot Sagaran Antonio memutuskan untuk mengucapkan kalimat syahadat dengan bimbingan K.H.Abdullah bin Nuh al-Ghazali. Usai ikrar keislamannya, nama Muhammad Syafii Antonio kemudian ia pilih sebagai pengganti nama Pilot Sagaran Antonio. 


Ada lima alasan mengapa dia memilih nama syafii. “Syafii adalah nama yang unik, dan diambil dari nama imam besar, berbudi baik, luhur serta terkenal akan objektivitasnya. Sedangkan Antonio adalah nama keluarga yang akan membedakannya dari Muhammad syafii lain,” ungkap Sarjana Syariah, lulusan University of Jordan ini.
 

Tindakan berani dari Syafii Antonio kontan menimbulkan reaksi keras dari sang ayah yang sejak awal sudah mewanti-wanti keluarganya agar tidak memilih Islam sebagai agama. Dampaknya, tak hanya dikucilkan, Syafii Antonio pun langsung diusir pergi dari rumah oleh ayahnya.
 

“Saya dikucilkan dan diusir dari rumah. Jika saya pulang, pintu selalu tertutup dan terkunci. Bahkan pada waktu shalat, kain sarung saya sering diludahi. Perlakuan keluarga terhadap diri saya tak saya hadapi dengan wajah marah, tapi dengan kesabaran dan perilaku yang santun. Ini sudah konsekuensi dari keputusan yang saya ambil,” ungkap anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia ini.
 

Ujian demi ujian terus dilaluinya dengan penuh kesabaran. Pucuk dicinta ulam pun tiba setelah setahun keislamannya, sang ibu, Liem Soen Nio, kemudian menyusul anaknya memeluk Islam di tahun 1985. Sang ibu di bawah bimbingan KH Abdullah bin Nuh mengucapkan syahadat di Bogor. Kemudian berganti nama menjadi Sunniah Badra Halim. 


Pria yang gemar membaca buku Buya Hamka dan Yusuf Qradawi ini kemudian memtuskan untuk mondok di Pesantren an-Nidzom Sukabumi di tahun 1985, di bawah pimpinan K.H.Abdullah Muchtar. Di sinilah, Matan Alfiyah Ibn Malik yang terdiri atas seribu baris dalam bahasa Arab berhasil dihafalnya.
 

Memilih Ekonomi
 

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Pesantren an-Nidzom, Syafii Antonio melanjutkan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung, namun kemudian pindah ke Institut Agama Islam Negeri, Syarif Hidayatullah, Jakarta. 


Itupun tak lama, kemudian Syafii Antonio melanjutkan ke University of Jordan (Yordania) untuk mengambil program S1 fakultas ekonomi. Setelah menyelesaikan S1 tahun 1990, ia kembali menyambung karir pendidikannya pada program S2 di international Islamic University (IIU), Malaysia, khusus mempelajari ekonomi Islam. 


Setelah merampungkan S2 tahun 1992, Syafii langsung berkecimpung di dunia perbankan syariah. Ia bertemu delegasi Indonesia yang akan mendirikan bank syariah setelah melihat contoh bank syariah di Malaysia. Kembali ke Indonesia, ia bergabung dengan Bank Muamalat. 


Dua tahun setelah itu, ia mendirikan Asuransi Takaful, lalu berturut-turut Reksa Dana Syariah. Empat tahun membesarkan Bank Muamalat, ia mundur dan mendirikan Tazkia Group yang memiliki beberapa unit usaha dengan mengembangkan bisnis di bidang ekonomi syariah. Untuk memantapkan ilmu ekonominya, ia kemudian mengikuti program doctoral, di University of Melbourne, Australia.
  
(m.yasin/Alhikmah) alhikmahonline.com
BLACKHAT SEO, Diperuntukan untuk mengcounter propaganda kafir di dunia cyber
Dewi Huges adalah sebuah fenomena, ketika sebagai seorang perempuan dengan ukuran tubuh yang “tidak ideal” bisa tampil sebagai MC kondang. 

Dewi masuk Islam dengan cara yang tidak lazim, yakni karena di sekolah di tempat tinggal keluarganya yang baru di Banten tidak ada pelajaran agama Hindu yang dianut keluarganya, orang tua Hughes memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih agama-agama yang diajarkan di sana, yaitu Islam dan Kristen. Sementara mereka sendiri tetap menganut agama Hindu. Hughes termasuk yang memilih Islam. Sungguh orang tua Hughes orang tua yang luar biasa.

Pada Ramadhan tahun lalu dan tahun sebelumnya, Hughes dipercaya ANTV menjadi presenter pada Acara live “Sahur Bersama Hughes”. Hughes, melaksanakan tugasnya dengan penuh totalitas. Tidak jarang dia terlihat dengan wajah berbinar dan kadang-kadang dengan mata basah pada ujung acara yang menampilkan pesan Ramadhan yang disampaikan oleh Ustadz Dr Miftah Faridh. 

“Mbak Hughes cantik”, beberapa ibu-ibu yang menelpon Hughes pada acara tersebut mengawali pembicaraannya. Memang Hughes terlihat cantik dalam acara terserbut, kecantikan yang bukan karena riasan, tetapi dari cahaya keimanan yang memancar dari kepribadiannya. Hughes juga menyatakan sikap hormat kepada orang tuanya yang masih  berbeda agama dengannya kepadanya. Sebuah sikap muslim yang sejati.

Dan Hughes tidak pernah lagi meninggalkan busana muslim, suatu pilihan seperti yang dikemukakannya kepada Majalah Tempo bukan pilihan yang tidak beresiko terhadap profesinya sebagai MC dan presenter.
BLACKHAT SEO, Diperuntukan untuk mengcounter propaganda kafir di dunia cyber
Bertakbir dalam Mimpi. Tak setiap orang 'diundang' memeluk Islam. Cahyono, pelawak kondang, bersyukur mendapatkan hidayah-Nya, sehingga mengganti agamanya -- dari semula Nasrani yang taat -- menjadi Islam. Islam, baginya, bukan sekadar kebutuhan di dunia dan akhirat tetapi kesempatan mencurahkan cintanya kepada Allah. Cahyono lahir di tengah keluarga Nasrani yang taat. Sejak kecil, dia sudah mendapat didikan agama, baik secara formal dan informal. Hingga dewasa dan masa tuanya, personel grup lawak Jayakarta Grup ini, aktif di kegiatan kerohanian.
Jalan berliku harus dilalui Cahyono sebelum memperoleh hidayah Islam. ''Saya Nasrani selama 42 tahun, tapi Alhamdulillah, saya diberikan teman-teman yang luar biasa -- Jojon, Ester, Uu -- di Jayakarta Grup," kisah Cahyono.

Ketiga karibnya ini, menurut Cahyono, taat dalam menjalankan ajaran agama Islam. Mereka, bahkan, telah menunaikan ibadah haji. ''Khusus Jojon, dia itu lulusan Ponpes Wanaraja. Nah dialah yang menjadi guru ngaji saya pada awal-awalnya.'' Kebetulan mereka berjiran.

Periode tahun 1980-1990-an merupakan masa jaya Jayakarta Grup. Tawaran manggung ke luar daerah terus mengalir. Di saat show ke daerah-daerah, Cahyono kerap menemukan sesuatu yang membangkitkan rasa ingin tahunya. Yakni sewaktu melihat ketiga rekannya shalat berjamaah. ''Saya selalu melihat dan mengamati saat mereka bertiga shalat berjamaah. Entah kenapa, tiap kali mereka takbir Allahuakbar, saya berpikir inikah Tuhannya orang Islam,'' katanya.

Suatu hari, rasa ingin tahunya memuncak. Kemudian, usai menyaksikan sahabatnya shalat, dia memberanikan diri bertanya kepada Jojon, ''itu tadi apa sih Allahuakbar itu.''

Jojon menjelaskan, Allahuakbar merupakan seruan umat Islam mengagungkan Allah SWT, tuhan semesta alam. ''Tidak ada tuhan selain Allah, dan siapa yang menyekutukan Allah, dijamin masuk neraka jahanam,'' Cahyono mengutip ucapan Jojon. Mendengar uraian itu, Cahyono serasa disambar petir.

Sejak itu, ia banyak merenung. Ia memikirkan tentang konsep trinitas yang dianutnya selama ini. Belum habis rasa gundahnya, tak berapa lama dirinya larut bercanda dengan ketiga sahabatnya, ditambah almarhum H. Benyamin.

Mendadak Jojon nyelutuk, ''udahlah No, bercandanya dihabisin, mumpung masih di dunia. Di akhirat nanti kita nggak ketemu lagi. Kita ke surga, kamu ke neraka.''

Cahyono terdiam dan tak dapat menimpali. Dalam hati ia membatin, Jojon bercanda tetapi nyelekit. ''No, you kan beriman zabur, taurat dan injil, tapi masih ada lagi Alquran dengan nabi penutup Muhammad SAW. Itu dari Allah semua.'' Ucapan Jojon kian menghunjam ke sanubarinya.

Cahyono kian ingin mempelajari Islam. Bahkan, suatu malam, ia bermimpi. ''Mungkin mimpi ini yang lantas mengubah pendirian saya,'' kenangnya.

Dalam mimpinya, dia bertemu dan dikejar-kejar mahluk mengerikan. Saking takutnya, Cahyono berdoa dan menyebut nama tuhannya. Namun mahluk itu justru bertambah besar. Semakin lantang disebut nama tuhannya, sang mahluk makin membesar. ''Pada kondisi yang putus asa, saya teringat nama tuhannya Jojon. Sekonyong-konyong, saya takbir dalam mimpi itu, Allahuakbar, dan seketika lenyaplah mahluk tadi,''kisahnya.

Paginya, Cahyono langsung menemui Jojon. ''Tuhanmu manjur Jon,'' katanya.

Kendati demikian, akhir 1992, ia menemukan hidayah-Nya. Saat itu ada pertandingan sepakbola antarpayuban pelawak Ibukota, di Stadion Kuningan Jakarta Selatan.

Hari beranjak petang, matahari pun lingsir. Adzan Magrib mendayu-dayu. Allahuakbar allahuakbar. Cahyono tak kuasa mendengarnya. Ia menepi ke pinggir lapangan. Tanpa disadarinya ia sekonyong-konyong bersujud. Ia merasa tak ragu memeluk Islam. Jojon menjadi pembimbingnya. Cahyono resmi memeluk Islam pada idul Fitri.

Hatinya kian tentram dan damai. Namun, ganjalan dari keluarga membayangi. Ketika ia memberitahu bila dirinya telah Islam, anak dan istrinya kaget. ''Papa masuk Islam pasti mau kawin lagi,'' istrinya sinis.

Cahyono berusaha menjelaskan. ''Saya masuk Islam karena mendapat hidayah dari Allah. Saya nggak mau ke neraka, sebab selama ini sudah di jalan yang salah.'' Cahyono pun mengajak istri dan anaknya mengikutinya masuk Islam. Permintaan yang sangat sulit karena mereka penganut Nasrani yang taat.

Tak menemui kata sepakat, mereka pisah ranjang. Beberapa lama kemudian, keduanya bertemu lagi dan tetap dengan sikap masing-masing. Tapi, Cahyono telah berketetapan hati. ''Benar Mah.. di hadapan orang-orang kau adalah istriku, tapi di hadapan Allah kau bukan istriku.''

''Kalau begitu bagaimana caranya supaya kita bisa rukun lagi,'' tanya istrinya.
''Kita kawin lagi tapi syaratnya harus masuk Islam.'' Sang istri menampik.

Suatu hari, ketika rekaman di Purnama Record, Cahyono duduk termenung. Ia hampir putus asa menghadapi kekerasan istrinya. Tiba-tiba seorang tukang sapu di studio itu menyapa, ''kenapa Pak Cahyono?''

Tak dapat memendam galau, Cahyono mengisahkan problema rumah tangganya. Seusai mendengarnya, tukang sapu itu sembari tetap memegang sapu, tegas mengatakan, ''buang yang haram, cari yang halal.''

Cahyono kembali ke rumah berbekal ultimatum. Ada tiga bulan ia memberi batas waktu bagi istrinya. ''Kalau mama tetap dengan keyakinan selain Islam, berarti bukan jodoh saya. Tapi kalau mama mau ikut masuk Islam, maka mama memang jodoh saya.''

Batas waktu terlampaui. Istrinya mengatakan, ''aku nggak bisa masuk Islam.'' Maka berakhirnya pernikahan yang dibina selama sekitar 20 tahun. ''Aku cinta istri dan anak-anak, tapi lebih cinta Allah.'' Setelah mengucap kalimat tersebut, Cahyono bergegas meninggalkan rumah dan seluruh isinya.

Waktu terus bergulir. Selama waktu itu, Cahyono memutuskan tinggal di pondok pesantren untuk memperdalam Islam. Beberapa saat kemudian, dia melaksanakan ibadah haji.

Dua tahun dia menduda. Suatu ketika saat rekaman di salah satu stasiun televisi swasta, ia bertemu wanita yang menjadi murid sebuah pesantren. Cahyono langsung terpaut hatinya. ''Mau nggak kawin sama saya,'' pintanya tanpa basa-basi. Si wanita merespon positif, ''kalau bapak mau, saya juga mau.''

Beberapa hari kemudian, dia pergi melamar dan diterima baik oleh orang tua si wanita. Kini pasangan ini telah dikaruniai dua putra.

Setelah mengharungi jalan berliku untuk mendapatkan hidayah-Nya, apa yang terpetik pria berpostur tinggi-besar ini? Ia merasa yang paling mahal di dunia dan akhirat adalah nikmat Islam. Ia pun menyitir ayat Alquran, Hai orang yang beriman, taqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa. Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam.

Peringatan Allah tersebut benar-benar diresapinya sebagai perintah untuk memperbanyak amal ibadah selagi masih hidup. Mencari nikmat dunia setengah mati, tapi saat meninggal nanti semua itu tidak akan berguna di hadapan Allah, terkecuali iman Islam. ''Saya baru 11 tahun masuk Islam. Dan sebelum itu kehidupan saya dipenuhi gemerlap dunia dan hura-hura. Ya namanya juga pelawak terkenal serta banyak uang.''

Terbayang di benaknya bila seseorang meninggal dalam keadaan tidak Islam. Dia menilai, mati dalam keadaan tidak beriman, sudah pasti masuk neraka. Manusia tidak tahu kapan akan dipanggil Allah. Dengan demikian, untuk 'berjaga-jaga' hendaknya perbanyak ibadah dan iman.

Sekarang ini waktunya banyak diisi dengan kegiatan dakwah. Latar belakangnya sebagai artis menjadikan Cahyono kerap diminta hadir mengisi acara agama di berbagai tempat. Ini merupakan berkah tersendiri karena memaparkan kebenaran agama kepada umat. Sumber Harian Republika
BLACKHAT SEO, Diperuntukan untuk mengcounter propaganda kafir di dunia cyber
Sejatinya, anak Hj Vera Pangka hasil pernikahannya dengan HM Syarif Tanudjaja SH, Ketua DPW Persatuan Iman tauhid Indonesia (atau Persatuan Islam Tionghoa Indonesia/PITI) DKI Jakarta, hanyalah tiga orang: Adrian Amar (31), Kelvin Ikhwan (29) dan Andrew Irfan (16). Itu pun sang sulung, Adrian Amar, tahun lalu meninggal dunia dalam usia 31 tahun karena penyakit kanker. Namun, di mata wanita kelahiran 18 Juni 1950 ini, anaknya tak terhitung jumlahnya.
''Alhamdulillah, mereka dekat sama saya,” ujarnya. “Mereka” yang dimaksud Vera adalah para muallafah, alias para perempuan yang memutuskan masuk Islam atas kesadaran sendiri. “Saya sudah seperti orang tua mereka.”

Menurut Vera, perjuangan anak-anaknya itu untuk masuk Islam bukanlah hal yang gampang. Umumnya, setelah bersyahadat, mereka dijauhi keluarganya, bahkan “dibuang”. “Jadilah, saya penggantinya,'' ungkap Vera kepada Republika di sela-sela pengukuhan pengurus DPW PITI DKI Jakarta di Jakarta Ahad (9/11).

Sebagai orang tua, tentu saja, wanita yang memiliki nama asli Goey Kiok Lan ini tak sekadar menjadi pendamping rohani bagi para muallafah yang baru memasuki agama Islam. Vera juga sering menjadi tempat curhat bahkan "mak comblang" bagi putri-putrinya tersebut. "Desember 2008 mendatang, jadwal saya sudah padat untuk mendampingi mereka menikah," katanya, tersenyum.

Perjalanan keimanan Vera tidaklah mulus. Ia bersyahadat tahun 1986. Ia enggan menceritakan detilnya, namun intinya, banyak tantangan ketika seseorang, apalagi Tionghoa, memutuskan untuk menjadi mualaf. “Saya sembunyi-sembunyi dari keluarga ketika memutuskan menjadi seorang Muslim,” kenang Vera.

Berdasar pengalaman pribadinya itu, ia lebih gampang memahami perasaan anak-anak asuhnya. “Sangat berat ketika kita harus berhadapan dengan keluarga, berhadapan dengan lingkungan kita. Ada pertarungan batin,” ujarnya.

Karenanya, sebagai orang yang pernah mengalami, tugasnya adalah menjadi pendamping. “ Muallaf-muallaf yang sudah lama mem-backing-i mereka yang baru. Minimal, menjadi teman curhat,” ujarnya.

Ia sendiri banyak mendapatkan pengalaman karena mendampingi sang suami. Kalau dia perempuan, katanya, masalahnya lebih kompleks lagi, lebih berat lagi. ''Karena yang perempuan ini berat untuk berbenturan dengan keluarga, sehingga dia 'bergerilya' masuk Islamnya,” jelas perempuan yang kini aktif di Kelompok Pengajian Mustika ini.

Salah satu nasihat yang sering diberikan pada anak-anaknya adalah: perbanyaklah berdzikir. Nasihat itu dulu sering diucapkan suaminya ketika hatinya tengah gulana memikirkan penolakan keluarganya. Meski orang tuanya tinggal di luar negeri yang berpandangan liberal, namun kabar sang anak yang membelot masuk Islam tetap saja membuat kalang kabut keluarganya.

Ketika masuk Islam, Vera sudah punya anak. Bahkan anak sulungnya, almarhum Adrian Amar yang selalu mendorongnya untuk segera memeluk Islam. ''Mama, masuklah Islam. Nanti mama sendirian,” ia menirukan omongan almarhum anaknya.

Sang suami memang sudah berislam. Sang anak mengikuti agama papanya. ''Terus terang, ini cita-cita anak saya, agar saya bisa aktif berjuang bersama papanya membela Islam. Kata dia suatu hari, Islam harus berjaya di Indonesia,” tambahnya.

Yang paling shock mendengar kabar ia berpindah agama adalah sang mama. Tak puas berdialog melalui telepon, mamanya memutuskan untuk datang ke Jakarta menemuinya. "Saya deg-degan. ''Apa ini? Saya harus bagaimana ini? Saya tahu ibu saya sifatnya keras," ia kembali mengenang.

Hari-hari menjelang kedatangan sang mama, ia lebih kencang berdzikir. Ketika akhirnya bertemu, Vera mengaku pertolongan Allah SWT datang. ''Sepanjang pertemuan saya zikir. Ibu saya lembut sekali ngomong-nya. Juga ketika saya bilang, 'Mami boleh minta apa saja sama saya. Cuma satu permintaan saya, jangan suruh saya pindah ke agama lama'.''

Ia sangat lega hati ketika suatu hari sang mama mengomentari agama barunya. "Pilihan kamu tidak salah," ia menirukan ungkapan wanita yang melahirkannya itu.

Ketika pertama kali dia ber-Ramadhan bersama keluarga, sang mama hadir menyaksikan. “Anak saya bilang, 'Oma sama Opa lihat kami Tarawih', lalu saya meminta maaf atas nama keluarga. Dia bilang, 'Oma maafin mama saya, ikhlaskan anak Oma masuk Islam'.''

Lalu, inilah hal yang tak diduganya. Pertama kalinya Vera menyaksikan sang mama menangis. “Oma ikhlas mama kamu masuk Islam,” ujar wanita itu kemudian. Kini giliran Vera bersimbah air mata. dam

Hj. Vera Panka (Almh)
Nama Asli: Goey Kiok Lan
Tanggal lahir : 8 Juni 1950
Suami : HM Syarif Tanudjaja SH
Anak : Adrian Amar Tanudjaja (31) almarhum
Kelvin Ikhwan Tanudjaja (29)
Andrew Irfan Tanudjaja (16)
Nama Ibu : Caroline Djuanda
Nama Ayah : John Siemon Pangka

Rumah
Bp. HM. Syarif S. Tanudjaja
Jl. Tegalan III No. 15, Tegalan, Matraman (Depan Toko Buku Gramedia)
Jakarta Timur
BLACKHAT SEO, Diperuntukan untuk mengcounter propaganda kafir di dunia cyber
Banyak yang mengira perubahan nama dari Tjio Wie Tay menjadi Masagung disengaja agar mirip nama perusahaannya, PT Gunung Agung. Padahal, nama itu pemberian Herlina, si Pending Emas, yang bertemu dengannya di Irian Barat (kini Irian Jaya) pada masa Trikora. Sulit memanggil nama aslinya, yang diingat Herlina adalah bahwa pria itu pemilik Gunung Agung. ''Ia memanggil saya Masagung, nama yang sudah lama saya cari-cari,'' Masagung mengungkapkan asal usul namanya.
Meskipun ayahnya seorang insinyur, Tjio Wie Tay hidup menderita. Hanya berbekal pendidikan sampai kelas V SD, ia berjualan rokok sepanjang jalan. Tay, bersama tiga orang kakak dan seorang adik, ditinggal mati ayahnya ketika ia baru berusia empat tahun.

Berdagang rokok pertama kali di Glodok, Jakarta, dengan modal 50 sen. Pindah ke emperan Senen dengan modal 75 sen. Di seberang emperan toko itu, ia mendirikan toko semipermanen, berukuran 3 .003 3 meter yang kemudian diberi nama Thaysan Kongsie. Ia memang berkongsi dengan Lie Thay San. ''Kebetulan istri saya dengan istri Lie Thay San bersaudara,'' tuturnya. Usaha itu membesar.

PT Gunung Agung di Jalan Kwitang 13 Jakarta Pusat didirikannya tahun 1953. Modal dasarnya Rp 500 ribu dengan 100 pemegang saham, di antaranya; Bung Hatta, Adinegoro, Sumanang, H.B. Jassin. Juga beberapa mitranya semasa Thaysan Kongsie.

Usahanya mula-mula dikenal dalam bidang toko buku dan penerbitan. Kemudian menjangkau keperluan kantor dan sekolah. Kini juga mengageni pena Parker, rokok Dunhill, dan Rothmans, majalah Time, sampai komputer Honeywell. Dengan modal Rp 250 juta, ia mendirikan PT Jaya Bali Agung, perusahaan pariwisata. Ia juga Direktur PT Jaya Mandarin Agung, pengelola Hotel Mandarin, Jakarta, sebuah usaha patungan dengan Hong Kong.

Apa kunci suksesnya? ''Kerja keras, berani, bercita-cita, percaya diri, dan menjaga nama,'' jawabnya tegas. Ia enggan menyebutkan jumlah kekayaannya. Tetapi, jumlah pajak yang harus dibayarnya secara grup mencapai Rp 200 juta. Untuk bea cukai sebesar Rp 2 milyar. Belum termasuk pajak pendapatan dari 2.000 lebih karyawannya.

Menjelang usia 50 tahun, Masagung masuk Islam. Alasannya? Sebagai orang dagang, sejak kecil hanya memikirkan uang, kedudukan, dan kehidupan yang nyaman. Ia takut tenggelam dalam dunia yang berlimpah dan bisa membawanya ke dunia maksiat. Mengapa memilih Islam? ''Itu soal Kun Faya Kun. Apa yang dikehendaki Allah, terjadilah,'' katanya tegas. Istrinya, Cheng Hian, yang dinikahi 30 tahun lalu, mengubah namanya menjadi Ida Ayu Agung.
BLACKHAT SEO, Diperuntukan untuk mengcounter propaganda kafir di dunia cyber
SEJAK kecil, saya sudah mengenal Islam. Ketika itu, saya sering melihat pembantu kami sedang melakukan shalat. Meskipun saya dan kedua orang tua saya beragama Kristen Katolik, namun kakek saya adalah seorang muslim. Harus saya akui, saat mendengar gema azan dan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an, hati saya terasa damai. Pernah suatu ketika, seorang teman kuliah berkata kepada saya bahwa Tuhan itu satu, la tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Mendengar itu, saya acuh tak acuh saja. Hati saya belum tergerak untuk mencari kebenaran ajaran Islam

Semasa kuliah di Riau, saya aktif di gereja. Pernah, saya mengajukan permohonan kepada seorang pastur, agar saya bisa menjadi pengiring organ gereja. Tapi, apa yang terjadi? Permohonan saya itu ditolak mentah-mentah, bahkan pastur bertanya kepada saya, apakah saya punya sertifikat dari sekolah musik atau tidak? Tujuannya, untuk membuktikan saya bisa bermain organ dengan baik.
Karena memang tidak punya sertifikat, saya hanya menjawab apa adanya bahwa saya bisa bermain organ secara otodidak. Tapi, lagi-lagi, pastur malah berkata kasar, "Bila tidak punya sertifikat, bisa-bisa permainan musikmu malah bikin kacau dan suasana ibadah di gereja menjadi tidak khusyu" Akibat penolakan itu, saya kecewa berat, sekaligus benci kepada pastur itu. Sampai pada akhirya, saya mencari kegiatan lain di luar gereja.

Pada tahun 1996 saya pindah ke Jakarta. Di kota metropolitan inilah saya mendapat pekerjaan di McDonald. Pada akhir 1998, saya kos di gang H. Sairnin, Ciputat. Di lingkungan kos, saya sering nimbrung dengan teman-teman yang beragama Islam. Seorang pemuda bemama Hans adalah salah satu teman terdekat saya. Biasanya, saat kumpul kami selalu diskusi tentang agama. Selain ngobrol, kami berlatih bermain musik di sebuah garasi. Karena sering berlatih, kami membentuk grup musik yang diberi nama "Garasi".

Suatu hari, kami kedatangan H. Sofwan Muzamil, temannya Bang Hans tadi. Saat itu, saya nimbrung saat mereka berdiskusi tentang ajaran Islam. Entah mengapa, saya tiba-tiba mulai tertarik dengan Islam. Karena tertarik, saya berterus terang kepada Pak Haji (panggilan H. Sofwan) bahwa saya ingin masuk Islam.

Mendengar keterusterangan saya itu, Pak Haji malah mengatakan, "Sebelum masuk Islam, kamu harus mempelajari agama Islam lebih dulu. Lagi pula Islam itu bukan agama paksaan."

Beberapa hari kemudian, saya memutuskan untuk bertemu lagi dengan Pak Haji untuk berdiskusi soal Islam. Sebelum berdiskusi, saya memang sudah mempersiapkan diri. Melalui buku-buku agama Islam yang saya baca, ditambah dengan seringnya saya berdiskusi dengan Pak Haji, membuat keinginan saya masuk Islam begitu kuat.

Masuk Islam


Menjelang Lebaran, tepatnya pada 17 Januari 1999, di sebuah mushala di Ciputat, dengan dibimbing oleh H. Sofwan Muzamil, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat. Tanpa sepengatahuan keluarga, saya masuk Islam secara resmi. Nama baptis saya yang semula Ignatius diganti menjadi Ikhsan Nur Ramadhan.

Resmi menjadi muslim, saya menghadapi cobaan yang luar biasa. Saya ditolak habis-habisan oleh keluarga saya. Terutama sekali oleh ibu dan kakak. Ceritanya, begitu kakak saya melihat nama baptis di KIP saya sudah tidak ada lagi, karena telah saya ganti menjadi Ikhsan Nur Ramadhan, ia betul-betul terkejut.

Karena kaget, kakak menginterogasi saya secara kasar. "Mengapa namamu kau ganti?" hardiknya ketus. Dengan tenang saya hanya menjawab ringkas bahwa saya sudah masuk Islam. Sejak itulah, oleh kakak, diri saya dianggap tidak menghargai orang tua lagi. Padahal, tak sedikit pun saya bermaksud untuk menyakiti ibu.

Meski akidah kami kini berbeda, namun saya tetap menaruh hormat kepada mereka. Bukankah ajaran Islam mengajarkan demikian? Apa pun yang terjadi, saya pasrah Saya tetap dengan keislaman saya. Saya pun yakin, Allah akan menolong hamba-Nya. Saya senantiasa berdoa agar Allah meneguhkan pendirian dan kesabaran kepada saya. Setelah masuk Islam, saya bergabung dengan tim nasyid Snada yang namanya lumayan populer bagi pecinta nasyid. (Adhes/Albaz)
(dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/) oleh Mualaf Online Center http://www.mualaf.com
BLACKHAT SEO, Diperuntukan untuk mengcounter propaganda kafir di dunia cyber
Paquita Wijaya, itulah namaku. Sejak lahir aku memeluk agama Kristen Protestan. Kesempatan pernah mengenyam pendidikan Barat di Parsons School of Design New York, membuat cara berpikirku sangat rasional. Apalagi aku dibesarkan dalam kultur keluarga yang demokratis. Termasuk dalam menyikapi agama. Namun setelah rasioku ditundukkan oleh kenyataan bahwa kekuasaan Allah itu benar ada, aku pun bersyahadat dan masuk Islam.
Sudah lama aku tertarik dengan Islam. Kupikir, ini agama yang paling rasional. Perlahan, aku tertarik dengan ritual Islam yang dijalankan Tanteku, seorang muslimah yang sempat tinggal bersama keluargaku. Tapi hingga suatu saat aku suting di pulau Nias, Sumatera Utara, aku belum juga memeluk Islam.

Inilah awalnya.... Pulau Nias tiap hari diguyur hujan lebat, disertai angin dan badai. Dua bulan tim kami terperangkap di pulau itu. Tak ada pesawat yang berani terbang di tengah cuaca buruk. Padahal, aku harus segera ke Jakarta.

Kepada teman-teman aku bilang, "Kalau hujannya berhenti, aku akan sholat." Pernyataan itu muncul spontan. Eh, tiba-tiba saja hujan berhenti. Sungguh menakjubkan. Hujan sederas itu benar-benar berhenti sama sekali, dan cuaca langsung cerah.

Akupun bisa tiba di Jakarta tanpa kesulitan. Walaupun aku berulang-ulang ditunjukkan 'sesuatu' yang sebelumnya tidak kupercayai, toh aku tidak langsung masuk Islam. Rasioku berkata, "Bukankah semua itu terjadi karena kebetulan saja." Hari-hari pun berjalan lagi. Membuat musik, mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) serta rutinitas lainnya. Namun sejak itu aku kerap memimpikan hal yang menurutku aneh. Misalnya aku mimpi bertemu, bersapa-sapa dengan ayah temanku yang sudah meninggal.

Meski aku mengenalnya dengan baik, menurutku ini agak aneh. Yang paling seram, aku mimpi dicekik berkali-kali, sampai sesak nafas tanpa bisa berbuat apa-apa. Gara-gara itu, tiga hari aku tak berani memicingkan mata.

Kutemui teman-temanku yang muslim. Kutanya mereka tentang cara ampuh mengusir mimpi buruk. "Surat apa yang kamu hafal?" tanya mereka, sambil menyebut beberapa nama surat dari Al-Quran. Kujawab, "Kecuali Al-Fatihah, tak ada yang lain." Lantas mereka menyuruhku membaca Al-Fatihah tujuh kali menjelang tidur. Sungguh, sejak saat itu aku tak mimpi aneh-aneh lagi.

Lain waktu aku bermimpi didatangi banyak orang. Mereka minta bantuanku. Ingin sekali aku menolong mereka tapi tidak berdaya. Tahu-tahu, dalam mimpi itu seperti ada yang menggerakkanku untuk sholat, hal yang sebelumnya tidak pernah kulakukan. Entah bagaimana, setelah sholat, aku jadi mempunyai kekuatan menolong orang-orang malang tadi. Dan ada kelegaan sesudahnya.

Akhirnya aku sampai pada suatu perasaan kekeringan hati. Dalam agamaku saat itu, aku tak merasakan suatu spirit. Katakanlah keimanan. Aku teringat saat-saat aku mengikuti tanteku berpuasa di bulan Ramadhan, saat itu aku masih seorang Kristen. Tapi pengalaman batin yang kurasakan sungguh istimewa.

Demikian pula pengalaman batin yang kurasakan saat pelan-pelan aku mulai lancar melafalkan Al Fatihah, karena kerap menyaksikan Tanteku menunaikan Sholat. Aku pun sampai pada kesimpulan yang bulat. Iman Islam inilah yang mengantarkanku pada sebuah kedamaian batin. Kesejukan iman Islam ini menyirami jiwaku.

Dua tahun kujalani proses perenungan itu, akhirnya aku mengikrarkan keIslamanku di sebuah masjid kecil di Jalan Kenari. Di hadapan seorang ustadz, kenalan seorang teman. Saat kuucapkan dua kalimat syahadat, aku tak mengalami kesulitan.

Selesai bersyahadat, hatiku lega. Hari-hari selanjutnya, semakin intens aku memperdalam Islam lewat buku karena aku tak sempat ke pengajian. Selain itu, aku juga belajar dari ibu pacarku yang memang seorang mubalighah di Solo.

Semula orang tuaku mengira aku masuk Islam lantaran pacarku, yang kebetulan seorang muslim. Demi menjaga niat keIslamanku, aku putus dengan pacarku ini. Hingga akhirnya aku menikah dengan seorang muslim lainnya. Ia pun rajin beribadah. Melihat dia sholat, rasanya hati ini senang tak terperi. Aku bangga memilih dan dipilih menjadi muslimah. [pesantren.net]
BLACKHAT SEO, Diperuntukan untuk mengcounter propaganda kafir di dunia cyber
NAMA saya Tan Hok Liang, tapi biasa dipanggil Kok Lien. Saya dilahirkan di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, 1 Oktober 1957, sebagai anak ke-2 dari 17 bersaudara. Pada umur 8 tahun saya masuk SD Tebing Tinggi. Ketika saya sedang senang senangnya menikmati dunia pendidikan, tiba-tiba dunia sakolah terpaksa saya tinggalkan karena ibu menyuruh saya berhenti sekolah. Jadi, saya hanya tujuh bulan menikmati bangku SD. Mulai saat itulah saya menjadi tulang punggung keluarga. Saya sadar, mungkin inilah garis hidup saya. Saya terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja membantu mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari.
Pada usia 12 tahun, saya mulai merantau dan menjadi anak jalanan di Terminal Tebing Tinggi. Sehari-hari saya menjadi calo, mencari penumpang bus. Suatu ketika, saya berhasil mencarikan banyak penumpang dari salah satu bus. Tapi entah mengapa, tidak seperti biasanya, saya tidak diberi upah.

Terbayang di mata saya wajah kedua orang tua, adik-adik, serta kakak saya yang senantiasa menunggu kiriman uang dari saya. Saya terlibat perang mulut dengan sopir bus tersebut. Tanpa sadar, saya ambil balok kayu dan saya pukulkan ke kepalanya. Akhirnya, saya berurusan dengan pihak yang berwajib. Di hadapan aparat kepolisian, saya tak mau mengaku bersalah. Saya menuntut hak saya yang tak diberikan oleh sopir bus itu.

Sebetulnya, saya tak ingin berurusan dengan pihak yang berwajib. Saya ingin hidup wajar-wajar saja. Tapi entah mengapa, kejadian di Terminal Tebing Tinggi itu terulang kembali di Terminal Medan. Dulu, selama di Terminal Tebing Tinggi, saya menjadi calo. Tapi, di Terminal Medan, saya beralih profesi menjadi pencuci bus.

Suatu ketika, tak saya sangka, tempat yang biasanya saya jadikan tempat menyimpan uang, ternyata robek. Uang saya pun ikut lenyap. Saya tahu siapa yang melakukan semua itu. Saya berusaha sabar untuk tak ribut dengannya. Saya peringatkan saja dia. Ternyata, mereka malah memukuli saya. Waktu itu saya berumur 13 tahun. Lawan saya orang yang sudah dewasa dan tinggi besar. Saya sakit hati, karena tak satu pun teman yang membantu saya. Tanpa pikir panjang, saya ambit parang bergerigi pembelah es yang tergeletak di antara kerumunan lalu saya bacok dia. Dia pun tewas. Lagi-lagi saya berurusan dengan polisi. Saat itu saya diganjar empat tahun hukuman di Penjara Jalan Tiang Listrik, Binjai. Masih saya ingat, ibu hanya menjenguk saya sekali saja.

Merantau ke Jakarta.

Setelah bebas dari penjara, saya pulang kampung. Tak pernah saya sangka, ternyata orang tua saya tak mau menerima saya kembali. Mereka malu mempunyai anak yang pernah masuk penjara. Hanya beberapa jam saya berada di rumah. Setelah itu, saya hengkang, mengembara ke Jakarta dengan menumpang KM Bogowonto.

Saya hanya mempunvai uang seribu rupiah. Tujuan utama saya ke Jakarta mencari alamat paman saya yang pernah menyayangi saga. Berbulan-bulan saga hidup menggelandang mencari alamat paman. Waktu itu alamat yang saya ingat hanyalah daerah Mangga Besar. Dengan susah payah, akhirnya saya temukan alamat paman. Sungguh tak saya sangka, paman yang dulu menyayangi saya, ternyata mengusir saya. Hilang sudah harapan saya untuk memperbaiki masa depan.

Tekad saya sudah bulat. Tak ada orang yang mau membantu saya untuk hidup secara wajar. Mulailah saya menjadi penjahat kecil-kecilan. Kejahatan pertama yang saya lakukan adalah menjambret tas dan perhiasan nenek-nenek yang akan melakukan sembahyang di klenteng.

Mulai saat itu saya telah berubah seratus persen. Keadaan mendorong saya untuk melakukan semua ini. Pelan-pelan dunia jambret saya tinggalkan. Saya beralih ke dunia rampok. Perdagangan obat-obat terlarang mulai saya rambah. Dan terakhir, saya beralih sebagai bandar judi. Saat-saat itulahsaya mengalami kejayaan. Masyarakat Jakarta menjuluki saya Si Anton Medan, penjahat kaliber kakap, penjahat kambuhan, yang hobinya keluar masuk penjara, dan lain-lain.

Proses mencari Tuhan

Tak terbilang berapa banyak LP (Lembaga Pemasyarakatan) dan rutan (rumah tahanan) yang sudah saya singgahi. Karena sudah terbiasa, saya tahu seluk-beluk rutan yang satu dengan rutan yang lain, baik itu sipirnya maupun fasilitas yang tersedia.

Di tembok penjara itulah saya sempat menemukan hidayah Tuhan. Ketika dilahirkan, saya memang beragama Budha. Kemudian saya berganti menjadi Kristen. Entah mengapa, tatkala bersentuhan dengan Islam, hati saya menjadi tenteram. Saya menemukan kesejukan di dalamnya.

Bayangkan, tujuh tahun saya mempelajari Islam. Pengembaraan saya mencari Tuhan, tak lepas dari peran teman-teman sesama tahanan. Misalnya, teman-teman yang terkena kasus Cicendo, dan sebagainya. Tanpa terasa, hukuman yang begitu panjang dapat saya lalui. Akhirnya saya menghirup udara segar kembali di tengah-tengah masyarakat. Tekad saya sudah bulat. Saya ingin berbuat kebaikan bagi sesama.

Masuk Islam

Tapi, kenyataannya ternyata berlainan. Begitu keluar dari penjara, saya dipaksa oleh aparat untuk membantu memberantas kejahatan. Terpaksa ini saga lakukan. Kalau tidak, saya bakal di 810-kan, alias didor. Dalam menjalankan tugas, saya selalu berhadapan dengan bandar-bandar judi kelas wahid. Sebutlah misalnya, Hong-lie atau Nyo Beng Seng. Akibat ulah Hong-lie, terpaksa saya bertindak keras kepadanya. Saya serahkan dia kepada pihak berwajib.

Dan akhirnya, saya menggantikan kedudukannya sebagai mafia judi. Sudah tak terhitung berapa banyak rumah-rurnah judi yang saya buka di Jakarta. Saya pun merambah dunia judi di luar negeri. Tapi, di situlah awal kejatuhan saya. Saya kalah judi bermiliar-miliar rupiah.

Ketidakberdayaan saya itulah akhimya yang membuat saya sadar. Mulailah saya hidup apa adanya. Saya tidak neko-neko lagi. Saya ingin mengabdikan hidup saya di tengah-tengah masyarakat. Untuk membuktikan kalau saya benar-benar bertobat, saya lalu masuk Islam dengan dituntun oleh KH. Zainuddin M.Z. Setelah itu, saya berganti nama menjadi Muhammad Ramdhan Effendi.

Kiprah saya untuk berbuat baik bukan hanya sebatas masuk Islam. Bersama-sama dengan K.H. Zainuddin M.Z., K.H. Nur Muhammad Iskandar S.Q., dan Pangdam Jaya (waktu itu) Mayjen A.M. Hendro Prijono, 10 Juni 1994, kami mendirikan Majels Taklim Atta'ibin.

Sengaja saya mendirikan majelis taklim ini untuk menampung dan membina para mantan napi (narapidana) dan tunakarya (pengangguran) untuk kembali ke jalan Yang benar. Alhamdulillah, usaha ini tak sia-sia. Pada tahun 1996, Majels Taklim Atta'ibin mempunyai status sebagai yayasan berbadan hukum yang disahkan oleh Notaris Darbi S.H. yang bernomor 273 tahun 1996.

Kini, keinginan saya hanya satu. Saya ingin mewujudkan pangabdian saya pada masyarakat lebih jauh lagi. Saya ingin mendirikan pondok pesantren. Di pondok inilah nantinya, saya harapkan para mantan napi dan tunakarya dapat terbina denganbaik. Entah kapan pondokpesantren harapan saya itu bisa terwujud. Saya hanya berusaha. Saya yakin nur Ilahi yang selama ini memayungi langkah saya akan membimbing saya mewujudkan impian-impian itu. (Maulana/Albaz) (dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ ).
BLACKHAT SEO, Diperuntukan untuk mengcounter propaganda kafir di dunia cyber
JAKARTA -- Keputusan Diego Michiels memeluk agama Islam mendapat dukungan dari kedua orang tuanya. Diego mengaku mengutarakan keinginannya itu sekitar sebulan lalu. 

"Saya sudah berbicara pada orang tua sekitar sebulan lalu, dan mereka mengizinkan," kata Diego di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (7/2).

Sebelumnya Diego menampik jika keputusannya menjadi mualaf untuk memuluskan jalan menikahi kekasihnya, pesinetron Nikita Willy. 

"Bukan karena kekasih saya Islam," kata Diego.

Ia mengatakan, ajaran Islam sudah lama ia kenal semenjak dirinya masih berstatus warga negara Belanda.

"Sebelum saya ke Indonesia saya sering bermain bersama teman saya yang Islam, lalu saya mulai mempelajari buku dan akhirnya saya sekarang memutuskan masuk Islam," ucap Diego yang mengenakan peci warna putih.

Diego pun mengaku bahagia bisa mewujudkan keinginannya itu.

"Saya senang sekarang," ujarnya sambil tersenyum bahagia.

BLACKHAT SEO, Diperuntukan untuk mengcounter propaganda kafir di dunia cyber
Nama Mirza Riadiani barangkali memang tidak dikenal. Tetapi nama penyanyi cilik yang mencuat di tahun 70-an lewat lagu "Helly" nama seekor anjing kecil, pasti semua orang sudah dapat menebaknya. Ya. siapa lagi kalau bukan Chicha Koeswoyo yang sekarang lebih dikenal sebagai wanita karier. Chicha sekarang memang Direktur PT Chicha Citrakarya yang bergerak di bidang Interior Design, Enterprise, Grafic Design, dan Landscape.

Yang jelas perbedaan antara Chicah cilik dan Chicha sekarang bukan pada penyanyi atau wanita karier; tetapi pada keyakinan imannya. Chicha hari ini adalah Chicha yang muslimah, yang hatinya telah terbimbing cahaya kebenaran Dinullah (Islam).

Perihal keislaman saya, beberapa majalah ibukota pernah mengakatnya. Itu terjadi tahun 1985. Singkatnya, saya tergugah mendengar suara azan dari TVRI studio pusat Jakarta.

Sebetulnya saya hampir tiap hari mendengar suara azan. Terutama pada saat saya melakukan olah raga jogging (lari pagi). Saat itu, saya tidak merasakan getaran apapun pada batin saya. Saya memperhatikannya sepintas lalu saja.

Tetapi, ketika saya sedang mempunyai masalah dengan papa saya, saya melakukan aksi protes dengan jalan mengurung diri di dalam kamar selama beberapa hari. Saya tidak mau sekolah. Saya tidak mau berbicara kepada siapapun. Saya tidak mau menemui siapapun. Pokoknya saya ngambek.

Pada saat saya mengurung diri itulah, saya menjadi lebih menghabiskan waktu menonton teve. Kurang lebih pulul 18.00 WIB. siara teve di hentikan sejenak untuk mengumandangkan azan magrib.

Biasanya setiap kali disiarkan azan magrib, pesawat teve langsung saya matikan. Tetapi pada saat itu saya betul-betul sedang malas, dan membiarkan saja siaran azan magrib kumandang sampai selesai. Begitulah sampai berlangsung dua hari.

Pada hari ketiga, saya mulai menikmati alunan azan tersebut. Apalagi ketika saya membaca teks terjemahannya di layar teve. Sungguh, selama ini saya telah lalai, tidak perhatikan betapa dalam arti dari panggilan azan tersebut.

Saya yang sedang bermasalah seperti diingatkan, bahwa ada satu cara untuk meraih kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat kelak, yaitu dengan shalat. Di sisi lain, suara azan yang mengalun syahdu, sanggup menggetarkan relung hati saya yang paling dalam. Hati saya yang resah, seperti di sirami kesejukan. Batin terasa damai dan tenteram.

Kebetulan meskipun beragama kristen, tetapi saya sekolah di SMA Yayasan Perguruan Islam Al-Azhar Kebayoran Baru. Sejak peristiwa itulah saya menjadi sering merenung dan memperhatikan teman-teman yang melaksanakan shalat di Masjid Agung Al-Azhar yang memang satu kompleks dengan sekolah saya.

Saya pun mulai sering berdiskusi dengan teman-teman sekelas, terutama dengan guru agam saya Bp Drs. Ajmain Kombeng. Beliau orang yang paling berjasa mengarahkan hidup dan keyakinan saya, sehingga akhirnya saya membulatkan tekat untuk memeluk agama Islam. Apalagi menurut silsilah, keluarga kami masih termasuk generasi kedelapan keturunan (trah) Sunan Muria.

Alhamdulillah, rupanya, masuk islamnya saya membawa berkah bagi keluarga saya dan keluarga besar Koeswoyo. Tahun 1986, saudara sepupu saya, Sari Yok Koeswoyo, mengikuti jejak saya ke jalan Allah. Bahkan di awal 1989, adik kandung saya, Hellen, telah berikrar mengucapkan dua kalimat syahadat. Alhamdulillah, tidak ada masalah yang berarti dengan keluarga kami.

Dengan Islamnya Hellen, saya merasa mempunyai teman untuk berkompetisi mendalami ajaran Islam. Pada setiap Kamis sore, ba'da shalat ashar, kami berdua tekun mendalami Islam kepada seorang guru mengaji yang datang kerumah. Sekarang ini saya sedang tekun mempelajari Al-Qura'an. Meskipun saya akui masih rada-rada susah.

Dari hasil pengkajian saya terhadap Islam dan Al-Qur'an, saya berpendapat bahwa semua permasalah yang ada didunia ini, jawabannya ada di dalam Al-Qur'an. Sebagai orang yang baru merintis usaha, saya tentu pernah mengalami benturan-benturan bisnis. Jika kegagalan dikembalikan kepada takdir Allah, maka insya Allah akan ada hikmahnya. Menurut saya, manusia boleh saja merencanakan seribu satu planning, tetapi yang menentukan tetap yang di atas (Allah SWT).

Dakwah di Australia
Setalah tamat di SMU Al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tahun 1987 saya melanjutkan kuliah di Stamford Colege, mengambil jurusan Managerial Principples. Selama satu tahun setengah, saya bermukim di Negeri Kanguru, Australia. Setelah itu, selama setahun saya bermukim di Singapura, masih di lembaga yang sama, Stamford College Singapore.

Selama di Australia, saya mempunyai pengalaman menarik. Misalnya, kalau saya ingin shalat berjamaah ke masjid maka saya harus ke daerah Lucinda di negara bagian Queensland. Jauhnya sama antara Jakarta-Puncak, sekitar 90 km.

Sewaktu saya shalat di apartemen, sahabat akrab saya orang Australia, memarihai saya. "Ngapain kamu menyembah-nyembah begitu," katanya bersungut sungut. Lalu saya jawab, "Sekarang saya jauh lebih tenang daripada tadi, dari pada 5-10 menit yang lalau. "Setelah itu, kami terlibat diskusi serius tentang perbedaan Islam dan Kristen.

Alhamdulilah, sejak saat itu kawan saya tampak serius mempelajari Islam. Meskipun sampai saat ini, saya tidak tahu lagi apakah ia sudah masuk Islam atau belum. Tapi buat saya sendiri, peristiwa itu memberikan kesan yang cukup dalam. Meskipun kecil, terapi terasa telah berbuat sesuatu yang berarti bagi diri saya dan agama saya, Islam.

Saya di lahirkan di Jakarta, 1 Mei 1968, putri sulung Nomo Koeswoyo, pencipta lagu terkenal sekaligus produser rekaman. Setelah selesai studi di Australia dan Singapura, saya melanjutkan di John Robert Power Jakarta, mengambil program Public Relation.

Semua hanya rahmat Allah. Sebagai probadi saya juga ingin sukses. Saya ingin juga mengabdi diri, supaya dapat menikmati kebahagian hidup. Soal materi bagi saya ternyata tidak ada apa-apanya. Toh, kita menghadap Allah hanya dengan kain kafan dan amal.

Chicha Koeswoyo Sedang 'Transit'
Jumat, 16 Agustus 2002 : Siapa yang tidak kenal Chicha Koeswoyo? Bagi mereka yang pada tahun 1980-an seusia murid TK atau SD, Chica adalah idola. Namanya, untuk masa kini, bisa disejajarkan dengan sederet penyanyi cilik yang sedang beken seperti Sherina, Tasya, dan Miesy.

Lagu-lagu Chica seperti Helly dan Senam Pagi menjadi 'nyanyian wajib' buat anak-anak saat itu. Nama bekennya itulah yang kemudian juga mengantarkannya sebagai pemain film. Minimal tiga judul film telah dibintanginya: Kartini, Chica, dan Break Dance. Sebuah terbitan untuk anak-anak bahkan memakai namanya. Di situ ia duduk sebagai pengasuh tanya jawab dengan sobat-sobat kecilnya.

Ya, itu dulu. Seiring dengan pertumbuhannya menjadi remaja dan kemudian seorang gadis cantik, ia justru menepi dari kehidupan glamor. Apalagi saat itu ia mulai merasakan nikmatnya menjalankan ajaran agama. Sejak itu secara pelan ia pun surut dari kehidupan selebritis.

Dan, ketika ia kemudian melanjutkan pendidikan di Australia dan lalu Singapura, nama putri sulung Nomo Koeswoyo, salah satu dedengkot Koes Bersaudara, ini pun seolah 'ditelan bumi'. Nama Chica tak lagi mewarnai lembaran dunia showbiz di tanah air.

Namun, menurut Mirza Riadiani Kesuma -- nama asli Chica Koeswoyo --, ia tak menyesali meninggalkan lingkungan dunia selebritis. Semua itu ia lakukan dengan kesadaran. Dan sejak pulang ke Indonesia, sosok Chica pun berubah total.

Kini ibu dua anak ini lebih sering tampak di forum-forum pengajian. Pengajian yang rutin didatangi adalah di tempat ibu mertua dan kakak ipar. ''Saya haus dan butuh informasi aktual tentang ajaran agama karena hidup memang harus berubah. Kalau tidak, kita akan jalan di tempat,'' kata mantan artis cilik ini.

Baginya, kehidupan dunia ini hanyalah terminal, dan ia mengaku sedang transit di terminal itu. ''Yang kekal itu nanti, di akhirat,'' tuturnya.

Namun, ia melanjutkan, untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik harus dilalui dengan kehidupan dunia yang baik pula. Kehidupan dunia yang tidak baik, katanya, akan menyesatkan manusia dari jalan lempang.

Menurut Chicha, hidup ini perlu keseimbangan. ''Memang kita berjuang untuk hidup, tapi ibadah juga jangan dilupakan. Apalagi hidup di kota besar hampir setiap orang berambisi akan materi. Karena itu, harus ada balance,'' tutur wanita yang ingin jadi entrepreneur ini.

Chicha merasa dunia ini sudah semakin tua dan seharusnya hal yang negatif dihindari. Ada kecemasan terhadap kehidupan di kota. Alangkah lebih baik, lanjut wanita yang mengaku sangat menikmati menjadi orang biasa ini, hidup diisi dengan hal yang positif daripada yang mubazir.

Agar hidup bisa sejahtera, ujarnya, tiap manusia harus berupaya hidup lurus, tidak saling menzalimi. ''Hal ini bisa diterapkan dalam keluarga dan tetangga dengan memahami cara berfikir mereka,'' kata anak pertama dari tiga bersaudara ini.

Sebagai ibu rumah tangga, Chica menuturkan semua pedoman tentang hidup yang didapatkannya itu kini ingin juga ditularkan kepada keluarganya, khususnya kepada anak-anaknya. Ini, katanya, karena anak-anak akan meniru apa yang dilakukan orangtuanya. ''Orang tua adalah figur yang akurat bagi anak-anak,'' ujar mantan penyanyi cilik yang lincah melantunkan lagu 'heli, guk guk guk' itu.

Bila Chicha sedang shalat jamaah bersama suami, anak pertamanya yang masih berusia tiga tahun akan diam, dan terkadang mengikuti apa yang dilakukan kedua orang tuanya -- ikut berdoa, dzikir, dan menunggu saling cium tangan.

Mantan pelantun lagu anak-anak ini mengaku sering melakukan tafakur. Biasanya, sehabis shalat Isya dan setelah menidurkan kedua anaknya. ''Saya senang bertafakur di saat suasana hening,'' katanya.

Chica menyadari, apa yang dijalaninya kini belumlah sempurna sebagai seorang muslimat. Namun, katanya, ia selalu berupaya menuju ke sana. Sebagai misal, meski ia belum selalu memakai pakaian yang menutup seluruh aurat, tapi ia berupaya berpakaian sopan.

Sejak menikah, ujar wanita kelahiran Jakarta 1 Mei 1968, memakai baju ketat tidak cocok lagi. ''Rasanya tidak enak saja berpakaian seperti itu,'' tegas pengagum cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid ini.

Chicha mengatakan sangat mengsyukuri apa yang didapatkannya dalam hidup ini. Apalagi, katanya, Allah masih memberikan umur yang panjang sehingga ada kesempatan untuk berbuat amal kebaikan. Ia pun selalu berdoa agar anak-anak dan keluarganya dari hari ke hari diberi keselamatan. ''Bila ada apa-apa, saya akan pasrahkan semua kepada Allah,'' ujarnya.

Menurutnya, pada waktu-waktu tertentu ia selalu berintrospeksi mengenai kekurangan apa saja yang telah diperbuat hari ini. Bila ada kesalahan pada Allah ia akan minta ampun. Bila ada kesalahan kepada orang lain, ia juga akan minta maaf kaena manusia memang tidak luput dari kesalahan.

Menurut pemilik nama asli Mirza Riadiani Koeswoyo, karena manusia tidak mengetahui rencana Allah selanjutnya, maka dia berharap senantiasa diberi kesadaran penuh dalam menghadapi hidup ini. ''Jangan sampai tidak diberi kesabaran menghadapi cobaan hidup,'' ungkap Chicha yang mengaku sering ditawari manggung dan main sinetron.

Biasanya, lanjut putri pasangan Nomo Koeswoyo dan Francisca, bila doanya mendapat keridhoan Allah, esok harinya seperti ada jalan yang terbentang lebar. ''Saya akan tambah bersyukur,'' kata Chicha yang mengaku kehidupan sehari-harinya dijadikan inspirasi oleh Nomo Koeswoyo, ayahnya.

Kini, setelah melakukan umrah di tahun 1992, Chica berkeinginan untuk dapat melaksanakan kewajiban ibadah haji. Sayangnya, ketika niat dia dan suaminya sudah bulat, ada saja rintangannya. Kebetulan sekarang ini ia sedang mengandung anak ketiganya. ''Mudah-mudahan Allah memberikan jalan,'' doa pengelola Kedai Bunga ini. (Adhes/Albaz - dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/) oleh Mualaf Online Center http://www.mualaf.com

DATA PRIBADI
Nama: Mirza Riadiani Kesuma
Nama panggilan: Chicha Koeswoyo
Lahir: Jakarta, 1 Mei 1968
Suami: Asdi Indra Kesuma

Nama Anak :
- Andi Rahmat Aqil Kesuma (3 tahun)
- Andi Kinaya Putri (13 bulan)

Pendidikan:
- D3 Stamford College Australia
- Sekolah manajemen di Singapura

Nama orang tua:
Nomo Koeswoyo dan Francisca

Album:
- Helly (1975)
- Senam Pagi
- Chicha Natal Berbaris

Film:
- Kartini
- Chicha (1980-an)
- Break Dance (1985).
BLACKHAT SEO, Diperuntukan untuk mengcounter propaganda kafir di dunia cyber
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan yang penuh hikmah buat saya. Saat itu, saya memulai hidup baru sebagai seorang muslimah. Ini adalah hidayah Allah pada saya dan saya sangat mensyukurinya. Sekarang, saya semakin mantap dengan pilihan hati nurani saya itu. Saya siap lahir batin. Termasuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Saya ingin segera bisa menunaikan ibadah umrah. Insya Allah.
Nama saya Monica Oemardi, lahir di Jakarta, 24 tahun lalu. Papa saya berasal dari Blitar dan beragama Islam. Sedangkan mama berasal dari Cekoslowakia dan beragama Kristen Protestan. Mungkin, sebagian pembaca tak asing lagi dengan debut saya selama ini di dunia sinetron. Di antara sinetron yang telah saya bintangi adalah Delima, Takhta, Intrik, Warteg, Misteri Gunung Merapi, Angling Darma, dan lain sebagainya.
Saya berasal dari keluarga Kristen Protestan yang cukup taat. Meskipun demikian, keluarga kami sangat demokratis dalam masalah agama. Setelah menikah, saya pindah agama ke Kristen Katolik, mengikuti suami saya yang pertama. Sebenarnya, agama Islam tak asing lagi bagi saya. Sebab, kebanyakan keluarga papa beragama Islam. Pada waktu kecil, pernah saya ikut-ikutan shalat Id pada Hari Raya Idul Fitri di Bandung. Walaupun hanya sekadar gerakan shalat saja, tapi kegiatan ritual itu sangatberkesan di dalam hati saya. Setelah shalat Id, saya jugs mengikuti nyekar (ziarah) ke makam leluhur papa dan mengikuti tahlilan.

Mulai Tertarik
Memang, saya sudah lama ingin masuk Islam, tepatnya sekitar bulan Februari-Maret 1998 lalu. Ketika itu, sahabat saya sesama artis, Vinny Alvionita dan Dian Nitami, mengunjungi saya di rumah kos. Ketika kami sedang asyik ngobrol, tiba-tiba terdengar suara azan magrib dari masjid sekitar rumah kos.
Sahabat saya, Dian Nitami yang muslimah itu, langsung ingin shalat. Tapi, terlebih dulu ia meminta izin kepada saya. Saya dan Vinny beringsut dari tempat duduk untuk menggelar sajadah, karena tempat kos memang sempit. Di dalam kamar kos yang kecil itu, saya perhatikan Dian ketika usai mengambil air wudhu, ia mengeluarkan mukenah putih, kemudian memakainya. Hal itu membuat saya terkesima dan berpikir, Islam itu amat suci, mau menghadap Allah harus menyucikan diri terlebih dulu. Saya amati terus saat Dian melakukan shalat. Hingga tiba-tiba dari mulut Saya terlontar permintaan kepada sahabat saya, Vinny, untuk mengajarkan saya tata cara shalat.
Tentu saja Vinny terkejut mendengar permintaan saya itu. Saya pun tak mengerti apa yang mendorong saya hingga melontarkan ucapan demikian. Dengan wajah tak percaya, Vinny memandangi saya. Saya disuruhnya mengulangi lagi permintaan saya tadi itu.
Mungkin Vinny tak percaya, karena selama ini saga tak pernah minta diajari shalat kepada teman-teman yang sering datang ke tempat kos saya. Tetapi, tiba giliran Dian yang shalat, saya malah minta diajari. irni mungkin hidayah bagi saya melalui kedua sahabat saya itu.
 
Sejak itu, Vinny memberi saya beberapa buku bacaan. Salah satunya berjudul, "Lentera Hati" yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Quraish Shihab, MA. Setelah membaca buku tersebut, saya semakin terpukau dan mengagumi Islam. Saya pun semakin mendalami Islam lewat buku-buku yang diberikan Vinny, di samping bertanya kepada mamanya Dian Nitami dan keluarga Vinny.
 
Walaupun saya terus mempelajari Islam melalui bukubuku yang diberikan oleh Vinny, saya masih sering ke gereja. Bahkan, yang mengantarkannya adalah Vinny sendiri: Memang, dalam bersahabat kami saling menghargai, terutama coal agama. la pernah berpesan kepada saya bahwa tak ada paksaan dalam Islam. Kalau ingin masuk Islam, harus dengan pikiran dan hati yang bersih dan sesuai dengan hati nurani.
Hari demi hari, saya terus mempelajari Islam secara mendalam, hingga setelah tak ada keraguan sedikit pun di hati, pada bulan puasa, Januari 1998, hati saya semakin bergetar. Saya menunggu-nunggu kapan waktu yang tepat untuk memeluk Islam.
Gelora hati untuk memeluk Islam mengalahkan segala kesibukan dan persiapan untuk menyambut Hari Natal. Dulu, saya paling suka mempersiapkannya. Bahkan, sebulan sebelumnya saya sudah sibuk merapikan runah, mencari kado buat mama dan keluarga, dan selalu siap membantu mama mempersiapkan kue-kue Natal. Tetapi, pada saat itu, saga tak melakukan semua itu. Walaupun saya belum nmemeluk Islam, tapi saya sudah menjalani ibadah puasa.

Masuk Islam

Pada malam menjelang Tahun Baru, 31 Desember 1998 lalu, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat dibimbing oleh Prof.Dr. H. Quraish Shihab di kediaman seorang pengusaha elektronik, Rachmat Gobel, di kawasan Jalan Saharjo, Jakarta Selatan, dalam acara buka puasa bersama.

Setelah membaca rukun Islam yang pertama itu, saya tak dapat menahan rasa haru, sehingga saya tak mampu lagi membendung air mata. Rasanya dada ini plong sekali, seperti bayi yang baru lahir. Jadi, tahun 1999 itu, buat saya, merupakan tahun untuk memulai "hidup baru" sebagai seorang muslimah.

Walaupun sudah resmi masuk Islam, tapi Pak Quraish Shihab dalam kesempatan itu, juga berpesan agar saya segera meresmikan status keislaman saya itu. Katanya, mengucapkan dua kalimat syahadat berkali-kali, tak apa-apa. Maka, pada hati Jumat tanggal 8 Desember 1999, dengan dilengkapi prosedur administratif, saya mengucapkan ikrar dua kaliniat syahadat di hadapan para saksi di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat.

Mengetahui saya masuk Islam, mama sempat marah. Bukan apa-apa, tapi karena beliau ingin supaya saya dalam hidup ini mempunyai prinsip. Setelah saya jelaskan, beliau pun akhimya menerima keputusan saya itu. Beliau berpesan supaya saya benar-benar menjaga keislaman saya. Tidak simpang siur dan tidak boleh main-main.

Setelah masuk Islam, kehidupan saya terasa lebih tenang. Apalagi setelah perceraian dengan suami pertama yang membawa kabur anak saya, Antonius Joshua (6 tahun). Selama bulan suci Ramadhan tersebut, saya terus menjalankan ibadah puasa. Dan ternyata, puasa dengan dilandasi niat, berbeda sekali dengan puasa tanpa niat. Saya rasakan puasa tanpa niat itu terasa sangat berat. Jangankan menjalaninya, untuk bangun sahur saja berat sekali. Tapi, setelah masuk Islam, saya selalu membaca niat puasa setiap sahur, puasa pun menjadi terasa ringan.

Selama ini saya sahur sendiri. Anehnya, saya bisa dengan mudah terbangun, tanpa ada perasaan yang berat. Dan setelah sahur, saya tidak langsung tidur. Saya hidupkan teve dan mengikuti kuliah subuh. Dari siaran tersebut, saya banyak memperoleh masukan-masukan yang bermanfaat. Saya bertekad untuk menjadi muslimah yang baik, tentunya dengan diiringi doa para pembaca. Insya Allah. (Ages Salami Albaz)
 (dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/)