". . . ALLAH membimbing kepada cahayaNYA siapa yang DIA kehendaki." 
::QS An Nuur 35:: 

-<>-<>-=)§(=-<>-<>- 

Sebagai seorang mantan pendeta Pantekosta, aku dulu sangat membenci Islam, hingga aku senantiasa berusaha merusak akidah umat Nabi Muhammad SAW, melalui ekabaran Injil kepada umat yang beragama Islam khususnya. 
Sering aku mengatakan bahwa agama Islam adalah agama penyesat dan sungguh tidak bisa dijadikan pedoman atau dasar iman bagi kehidupan manusia. 

Pada suatu hari, aku harus membaptis satu keluarga Muslim. 
Yang sebelumnya aku sudah banyak memberikan bantuan materi untuk hidup mereka sehari-hari. 
Tentu saja bantuan itu tidak ku berikan secara cuma-cuma, tetapi dengan imbalan, keluarga tersebut harus masuk kristen. 
Ketika aku bertanya kepada keluarga ini, apakah mereka sungguh menerima yesus sebagai Tuhan dan juru selamat? 
Mereka akhirnya mengangguk setuju. 
Hingga seminggu kemudian aku membaptis keluarga ini dan menyuruh mereka membakar semua atribut yang berbau Islam. 
Saat itu mataku tiba-tiba tertuju pada satu tulisan kaligrafi Al Qur'an yang ditempel di dinding. 
Aku bertanya kepada sipemilik rumah yang hendak ku baptis, tulisan apa itu? 
Imagela menjawab kalau itu adalah tulisan `Dua Kalimat Syahadat`, yang artinya 
"Tiada Tuhan Selain ALLAH dan Muhammad adalah Utusan ALLAH" 

Tiba-tiba dadaku terasa bergemuruh saat mendengar makna dari tulisan Arab itu. 
Niatku yang ingin merobek keretas itu mendadak lenyap. 

Dalam perjalanan kembali ke rumah, ada sebuah peristiwa yang sungguh diluar jangkauan manusia, karena saat itu ku rasakan ditelingaku terngiang sebutan dalam bahasa Indonesia 
"Tiada Tuhan Selain ALLAH dan Muhammad adalah Utusan ALLAH" 
Lama aku termenung memikirkan bisikan itu. 
Pikiranku tertuju pada kalimat 
"Tiada Tuhan Selain ALLAH.." 
Kalimat itu dimulai dengan kata "tidak", suatu makna yang menandakan penolakan terhadap tuhan-tuhan selain ALLAH. 

Sejak itulah, aku mulai tertarik pada Islam. 
Dan otomatis, ketertarikanku pada Islam sangat mempengaruhi aktifitasku sebagai pendeta. 
Istriku yang juga penginjil, ternyata tanggap dengan perubahan yang terjadi pada diriku dan mempertanyakannya kepadaku. 

Ku pikir, alangkah baiknya kalau ku ceritakan saja mengenai kegelisahanku ini dan mengajaknya berdo'a bersama sebagai pendeta. 
Namun anehnya, saat berdo'a bersama itu konsentrasi ku hilang, saat kalimat itu kembali terngiang ditelingaku. 

Akhirnya, aku sadar kalau batinku mentut kebenaran yang ada pada Islam, salah satunya dengan membeli buku-buku bacaan tentang Islam, yang berhasil ku temukan di daerah Senen, Jakarta. 
Dari beberapa buku yang ku pilih, ada satu buku yang menarik minatku, yaitu buku berjudul 
"Hidup Sesudah Mati" 
karangan almarhum Bey Arifin. 
Setiap buku yang ku baca, pasti didukung oleh referensi ayat-ayat Al Qur'an, yang sungguh ku kagumi karena semuanya tidak bertentangan dengan fitrah manusia. 

Sementara asyik dengan buku-buku mengenai Islam, kegiatan berkhotbah di gereja tetap ku jalani, meski otomatis jadi sedikit ngawur. 
Materi ceramah ku tidak lagi bicara mengenai yesus, melainkan lebih kepada hubungan antar manusia. 
Selain itu rapat-rapat kependetaan pun perlahan-lahan mulai ku tinggalkan. 
Melihat semua ini, rekan-rekanku yang lain tentu saja mulai curiga dan memanggilku dalam pertemuan khusus para pendeta. 
Singkat cerita, aku dipecat dari kedudukan sebagai seorang pendeta dan resikonya adalah meninggalkan kemewahan. 

Di daerah Depok I, Jawa Barat, tempatku menginap di usia senja ini, terdapat mesjid yang letaknya persis di depan rumah. 
Ketika ku lihat mesjid hanya penuh pada saat sholat Jum'at, aku sempat jadi bimbang, apa bedanya dengan agama kristen yang gerejanya penuh jemaat hanya pada hari minggu? 
Namun setelah aku kaji Al Qur'an, ternyata perintah sholat telah jelas diwajibkan, hanya saja manusianya yang senantiasa melalaikan kewajiban itu. 
Akupun tenang kembali. 
Sementara istriku tidak setuju dengan keinginanku menjadi seorang Muslim. 
Bahkan ketika malam hari sebelum aku mengucapkan dua Kalimat Syahadat, ku katakan keinginanku kepadanya, ia malah menghardik ku sebagai pengkhianat. 
Aku tak peduli! 
Bahkan aku cuma bisa berharap istri dan kedua anak-anakku ikut jejak ku masuk Islam. 

Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1994, di Beji, Depok, aku resmi menjadi Muslim.
Dan namaku pun berganti menjadi Rudi Mulyadi Foorste, yang semula Rudolf Otto Foorste. 
(aku adalah keturunan Belanda, orang tuaku berasal dari Galela, Halmahera Utara). 

Selang tiga bulan kemudian, alhamdulillah, istri dan anak ku pun mengikuti jejak ku masuk Islam. 
Ternyata ALLAH SWT kembali memberikan taufik dan hidayah kepadaku dengan berkumpulnya kami sekeluarga dalam naungan Islam. 
Dan yang paling aku syukuri adalah kerelaan istri dan anak-anak ku yang hidup sederhana, jauh dari kemewahan seperti yang dulu pernah kami alami. 
Islam telah memberiku jalan kebenaran dan kehidupan yang sesungguhnya. 
Dan kebahagiaan seperti ini ...
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: